BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ilmu pendidikan
telah berkembang pesat dan terspesialisasi. Salah satu diantanya adalah
Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) yang membahas pendidikan untuk anak usia 0-8
tahun. PAUD telah berkembang dengan pesat dan mendapat perhatian luar biasa terutama
di negara-negara maju.
Pembelajaran anak
usia dini menggunakan prinsip belajar, bermain, dan bernyanyi. Pembelajaran
disusun sehingga menyenangkan, menggembirakan, dan demokratis agar menarik anak
untuk lebih terlibat dalam setiap kegiatan pembelajaran.
Terdapat banyak
prinsip pembelajaran pada pendidikan anak usia dini. Tetapi setidaknya dari
sekian banyak prinsip yang ada tersebut di petakan menjadi dua kategori, yakni
prinsip secara teoritis dan peinsip secara praktis.
B. Rumusan Masalah
1. Apa saja prinsip-prinsip Teoritis dalam
Pembelajaran/Kegiatan PAUD?
2. Apa saja prinsip-prinsip Praktis dalam
Pembelajaran/Kegiatan PAUD?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui apa saja prinsip-prinsip Teoritis
dalam Pembelajaran/Kegiatan PAUD.
2. Untuk mengetahu apa saja prinsip-prinsip Praktis
dalam Pembelajaran/Kegiatan PAUD.
D. Manfaat Penulisan
Penulisan
makalah ini bermanfaat
1. Bagi
penulis
Makalah
yang telah ditulis ini diharapkan menjadi wahana transformasi pengetahuan
antara mahasiswa dengan mahasiswa lainnya, mahasiswa dengan masyarakat, serta
orang-orang yang berminat membacanya.
2. Bagi
mahasiswa
Makalah yang
telah ditulis ini diharapkan
dapat menjadi salah satu sumber bacaaan ataupun referesi untuk mahasiswa
khususnya tentang prinsip-prinsip pendidikan anak usia dini.
3. Bagi
masyarakat
Makalah yang
telah ditulis ini diharapkan
dapat menjadi salah satu sumber bacaan ataupun referensi tentang prinsip-prinsip
pendidikan anak usia dini.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PRINSIP-PRINSIP
TEORITIS DALAM PEMBELAJARAN/KEGIATAN PAUD
Hasil pemikiran
para filsuf tentang pendidikan anaka usia dini, oleh Tina Bruce (1987) dirangku
dalam sepuluh prinsip khusus pendidikan anak usia dini sebagai berikut:
1. Masa anak-anak adalah sebagian dari kehidupannya
secara keseluruhan. Masa ini bukan dipersiapkan untuk menghadapi kehidupan pada
masa yang akan datang, melainkan sebatas optimalisasi potensi secara optimal.
2. Fisik, mental, dan kesehatan sama pentingnya
dengan berpikir maupun aspek psikis (spiritual) lainnya. Oleh karena itu,
keseluruhan (holistik) aspek perkembangan anak merupakan pertimbangan yang sama
pentingnya.
3. Pembelajaran anak usia dini melaui berbagai
kegiatan saling terkait satu dengan yang lainnya sehingga pola stimulasi
perkembangan anak tidak boleh sektoral dan parsial, hanya satu aspek
perkembangan saja.
4. Membangkitkan motivasi intristik (motivasi dari
dalam diri) anak akan menghasilkan inisiatif sendiri (self directed activity) yang sangat bernilai daripada motivasi
ekstrensik.
5. Program pendidikan pada anak usia dini perlu
menekankan pada pentingnya sikap disiplin karena sikap tersebut dapat membentuk
watak dan kepribadiannya.
6. Masa peka (0-3 tahun) untuk mempelajari sesuatu
pada tahap perkembangan tertentu, perlu diobservasi lebih detail.
7. Tolok ukur pembelajaran PAUD hendaknya bertumpu
pada hal-hal atau kegiatan yang telah mampu dikerjakan anak, bukan mengajarkan
hal-hal baru kepada anak, meskipun tujuannya baik karena baik menurut guru dan
orang tua belum tentu baik menurut anak.
8. Suatu kondisi terbaikatau kehidupan terjadi dalam
diri anak (innerlife), khususnya pada
kondisi yang menunjang.
9. Orang-orang disekitar (anak dan orang dewasa)
dalam interaksi merupakan sentral penting karena mereka secara otomatis menjadi
guru bagi anak.
10. Pada hakikatnya, PAUD merupakan interaksi antara
anak, lingkungan, orang dewasa, dan pengetahuan.[1]
Dari
prinsip-prinsip diatas, prinsip PAUD dapat dikelompokkan menjadi lima kategori,
yaitu:
1. Anak adalah peserta didik aktif.
2. Menyediakan fasilitas agar anak belajar melaui
bermain, dan bermain sambil belajar.
3. Memberi kesempatan anak untuk berpartisipasi
aktif.
4. Mendorong anak untuk membangun dan mengembangkan
idenya sendiri.
5. Memotivasi
anak untuk mengembangkan potensi diri tanpa takut berbuat salah.[2]
Apabila dikatkan
dengan program pendidikan prasekolah, khusunya Taman Kanak-kanak maka ada
beberapa prinsip pelaksanaan pendidikan di taman kanak-kanak, yaitu:
1. Tanam Kanak-kanak perlu menciptakan situasi
pendidikaan yang memberikan rasa aman dan menyenangkan bagi anak didik.
2. Setiap anak didik merupakan anak yang unik, maka
sebaiknya diberikan kegiatan yang bervariasi dan perhatian yang bersifat
individual.
3. Pelaksanaan pendidikan harus mempertimbangkan
kematangan anak untuk memperoleh kemampuan baru.
4. Bermain merupakan cara yang sangat efektif untuk
mengembangkan kemampuan anak.
5. Tidak ada unsur paksaan dalam proses pendidikan.[3]
Berbeda dengan
prinsip-prinsip yang dikemukanan Tina Bruce (1987), Douglas H. Clements (dalam
Hass dan Parkay, 1993: 339) membagi prinsip-prinsip pendidikan anak usia dini
ke dalam empat kategori, yaitu: kategori anak sebagai peserta didik aktif, anak
sebagi pembelajar sosial-emosional, anak sebagai peserta didik independen
(penanggung jawab atas kegiatan yang dilakukannya sendiri) dan kategori anak
sebagai pembelajar di dunia nyata. Berikut penjelasan keempat kategori
tersebut.
1. Kategori anak sebagai peserta didik aktif.
Berdasarkan teori Piaget dalam perkembangan kognitif, anak membangun
pengetahuan sendiri secara konstruktif. Beberapa prinsip yang termasuk ke dalam
kategori ini adalah sebagai berikut:
a. Pemahaman terhadap anak dilakukan secara
partisipasi aktif dan mengikuti pola perkembangan anak.
b. Memotivasi atau menstimulasi anak untuk membangun
ide-idenya sendiri dan “menguji” ide tersebut melaui aktivitas fisik dan
mental.
c. Menyediakan berbagai kesempatan bagi anak untuk
belajar melalui bermain, dan mengekspresikan idenya dengan bebas-kreatif, serta
mengembangkan minat estetik, keterampilan motorik, dan nilai-nilai moral
keagamaan.
d. Menyediakan kerangka konseptual dan memperbanyak
pada aspek pengertian daripada pengetahuan.
e. Menekankan aspek berpikir, alasan (reasoning), dan pengambilan keputusan
secara mandiri.
2. Kategori anak sebagai pembelajar sosial-emosional.
Perkembangan sosial-emosional penting bagi diri anak. Interaksi sosial antara
anak dan orang dewasa adalah masalah krisis untuk dipelajari, khususnya
mempelajari cara-cara berpikir baru. Di dalam pembelajaran
sosial-emosional ini, terdapat dua
prinsip utama, yakni:
a. Menyediakan kesempatan bagi anak untuk
berinteraksi secara sosial untuk menumbuhkan self image yang positif dalam diri anak.
b. Menyediakan berbagai kesempatan untuk belajar
tanpa tuntutan dari orang tua maupun guru.
3. Kategori anak sebagai peserta didik independen.
Kategori ketiga ini berdasarkan asumsi bahwa anak harus belajar bertanggung
jawab. Hal ini menuntut adanya sejumlah prinsip sebagai berikut:
a. Menyediakan lingkungan (walaupun terbatas) yang
dapat mendorong otonomi atau kebebasan anak untuk bermain secara eksploratif.
b. Menstimulasi, mendorong dan memotivasi anak untuk
mencari relasi atau pergaulan (relationship)
dengan orang lain, melaui pergaulan dalam bermacam problem.
c. Memotivasi anak untuk memperkaya pengalaman dengan
berbagai solusi dan alternatif-alternatif
pemecahan masalah.
d. Memberi peluang kepada anak untuk memiliki
tujuan-tujuan realistik dan dalam memprediksikan atau mengkonfirmasikan suatu
peristiwa.
e. Melatih anak untuk dapat menggunakan beragam
teknik mempermudah belajar dari materi yang kompleks.
4. Kategori anak sebagai pembelajar di dunia nyata.
Prinsip pada kategori ini menekankan bahwa pendidikan harus mengikutsertakan
anak dalam kegiatan yang bermakna secara konkret atau langsung berkaitan dengan
kehidupan di luar sekolah. Hal ini, menuntut adanya sejumlah prinsip, di
antaranya sebagai berikut:
a. Menyediakan ruang bagi anak atau memberi kesempatan kepada anak untuk
mengeksplorasi problem-prolem riil, situasi yang bermakna dan material konkret.
Aktivitas bermakna mempunyai tujuan dan berkaitan erat dengan pengalaman
pribadi anak.
b. Menyediakan umpan balik yang memungkinkan adanya
konsekuensi yang wajar dari setiap aktivitas anak.
c. Menumbuhkan motivasi secara intrinstik bukan
ekstrinsik.[4]
B.
PRINSIP-PRINSIP
PRAKTIS DALAM PEMBELAJARAN/KEGIATAN PAUD
Prinsip-prinsip
pelaksana pembelajaran anak usia dini dikemukakan menjadi beberapa prinsip,
antara lain:
1. Berorientsi pada Kebutuhan Anak
Kegiatan
pembelajaran pada anak harus senantiasa berorientasi pada kebutuhan anak.
Menurut Maslow, kebutuhan manusia ada tujuh tingkat yang tersusun secara
hierarki, yakni: kebutuhan fisik, keamanan, kasih sayang, harga diri, kognisi,
estetika, dan aktualisasi diri.
Tetapi bagi
anak-anak kebutuhan tersebut berhenti pada tingkat ketiga, yakni kasih sayang.
Menurut Maslow, kebutuhan mendasar bagi anak adala kebutuhan fisik (makan,
minum, pakaian, dan lain-lain). Artinya anak-anak dapat beraktivitas dengan baik
ketika kebutuhan dasar ini terpenuhi. Kebutuhan berikutnya adalah keamanan
(aman, nyaman, terlindungi, dan bebas dari bahaya). Artinya anak akan semakin
mudah terkondisikan ketika kedua kebutuhannya tersebut terpenuhi. Selanjutnya,
kebutuhan anak berikutnya adalah kasih sayang (dimengerti, dihargai, dikasihi,
dan lain-lain). Dengan kondisi yang demikian anak akan merasa separuh dari
kebutuhan hidupnya telah terpenuhi.
2. Pembelajaran Anak sesuai dengan Perkembangan Anak
Pembelajaran untuk
anak usia dini harus disesuaikan dengan tingkat perkembangan anak, baik usia
maupun kebutuhan individual anak. Setiap anak berbeda perkembangannya dengan
anak yang lain, ada yang cepat ada yang lambat. Oleh karena itu, pembelajaran
anak usia dini baik lingkup maupun tingkat kesulitannya dengan kelompok usia
anak.
3. Mengembangkan Kecerdasan Majemuk Anak
Pembelajaran anak
usia dini hendaknya tidak menjejali anak dengan hafalan (termasuk membaca,
menulis, dan berhitung: calistung),
tetapi mengembangkan kecerdasannya. Kunci kecerdasan anak adalah kematangan
emosi, bukan pada kemampuan kognisi karena serabut otak kognisi pada anak belum
terbentuk atau belum tumbuh dengan baik. Oleh karena itu, ukuran kecerdasan
anak bukan pada kemampuan kognitif, melainkan pada kemampuan emosi. Dengan
demikian, anak yang kemampuan kognitifnya telah baik, belum tentu ia anak yang
cerdas. Justru sebaliknya, ada kemungkinan stimulasi yang berlebihan pada
kemampuan kognitif membuat pengembangan kecerdasan yang lain menjadi
terabaikan. Dan anak tersebut dapat mengalami distorsi kecerdasan secara
besar-besaran. Oleh karena itu, kecerdasan bagi anak tidak semata-mata kognitif
saja.
4. Belajar Melaui Bermain
Bermain adalah
salah satu pendekatan dalam melaksanakan kegiatan pendidikan untuk anak usia
dini. Melaui bermain, anak diajak untuk berekplorasi (penjajakan), menemukan,
dan memanfaatkan benda-benda di sekitarnya.
Montessori
memandang permainan sebagai “kebutuhan batiniah” setiap anak (Britton, 1992:
19) karena bermain mampu menyenangkan hati, meningkatkan keterampilan, dan
meningkatkan perkembangan anak. Konsep bermain inilah yang kemudian disebut
sebagai belajar sambil bermain.
Montessori menilai
bahwa bermainnya anak bukan sekedar “main-main” tetapi mereka “sungguh-sungguh
bermain”. Ketika sebagian orang tua dan guru memandang bahawa bermain adalah
kegiatan sia-sia dan melelakan sehingga menghambat proses belajar, Montessori
justru menilai bermain adalah “kerja” anak-anak yang sesungguhnya atau lebih
dari sekedar belajar (Britton, 1992: 20).
5. Tahapan Pembelajaran Anak Usia Dini
Pembelajaran bagi
anak usia dini hendaknya dilakukan secara bertahap, mulai dari yang konkret ke
yang abstrak, dari yang sederhana ke yang kompleks, dari yang bergerak ke
verbal, dan dari diri sendiri ke lingkungan sosial. Agar konsep dapat dikuasai
dengan baik, hendaknya guru menyajikan kegiatan-kegiatan yang berulang-ulang,
tetapi jangan sampai membosankan. Anak-anak mempunyai ketertarikan terhadap
sesuatu yang baru dan ketika ia mampu melakukannya, ia cenderung akan
mengulang-ulangnya. Meskipun demikian, anak-anak juga mempunyai titik jenuh
sehingga satu kegiatan tertrntu tidak boleh diulang secara berlebihan.
6. Interaksi Sosial Anak
Ketika anak berinteraksi dengan teman sebayanya,
maka anak akan belajar, begitu juga ketika anak beinteraksi dengan orang dewasa
(guru, orang tua). Inilah sebabnya, mengapa anak “tanpa belajar” bahasa, pada
usia 4-5 tahun ia telah mempunyai kosakata leih dari 14.000 kata. Kekayaan kosa
kata ini diperoleh anak-anak ketika berinteraksi dengan orang dewasa, khusunya
ibunya.
Dalam sosio-kultur masyarakat pada umumnya, anak
yang mempunyai kemampuan bahasa lancar akan dipersepsikan sebagai anak cerdas.
Sebaliknya, jika anak lambat dalam perkembangan bahasanya, akan dipersepsikan
sebagai anak yang kurang cerdas. Karena
kemampuan bahasa mencerminkan kecerdasan linguistik yang tinggi.
7. Lingkungan yang Kondusif
Lingkungan harus
diciptakan sedemikian rupa sehingga menarik dan menyenangkan dengan
memerhatikan keamanan serta kenyamanan yang dapat mendukung kegiatan belajar
melaui bermain.
8. Merangsang Kreativitas dan Inovasi
Kegiatan
pembelajaran di PAUD harus merangsang daya kreativitas dengan tingkat inovasi
tinggi. Jika kegiatan bermain di lembaga PAUD hanya “itu-itu saja” tentu tidak
akan mampu merangsang hasrat rasa ingin tahu anak. Oleh karena itu, inovasi di
bidang permainan, khususnya permainan sains, harus digalakkan, dan
inovasi-temasuk inovasi permainan-selalu membutuhkan kreativitas tinggi.
Proses kreativitas
dan inovatif dappat dilakukan melaui kegiatan-kegiatan yang menarik,
membangkitkan rasa ingi tahu anak, memotivasi anak untuk berpikir kritis, dan
menemukan hal-hal baru.
9. Mengembangkan Kecakapan Hidup
Pembelajaran di
PAUD harus mampu mengembangkan kecakapan hidup anak dari berbagai aspek secara
menyeluruh. Berbagai kecakapan dilatihkan agar anak kelak menjadi manusia
seutuhnya. Tujuannya adalah agar kelak anak berkembang menjadi manusia yang
utuh dan memiliki kepribadian atau akhlak mulia, cerdas dan terampil, mampu
bekeja sama dengan orang lain, mampu hidup bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara.
Mengembangkan
kecakapan hidup dapat dilakukan melalui berbagai proses pembiasaan, agar anak
belajar untuk mandiri, disiplin, mampu bersosialisasi, dan memperoleh bekal
keterampilan dasar yang berguna untuk kelangsungan hidupnya.
10. Pembelajaran sesuai dengan Kondisi Sosial Budaya
Pembelajaran anak
usia dini harus sesuai dengan kondis sosial budaya dimana anak tersebut berada.
Apa yang dipelajari anak adalah persoalan nyata sesuai dengan kondisi di mana
anak dilahirkan. Berbagai objek yang ada di sekitar anak, kejadian, dan isu-isu
yang menarik dapat diangkat sebagai tema persoalan belajar.
11. Stimulasi Secara Holistik
Kegiatan anak usia
diniharus bersifat terpadu atau holistik. Anak tidak boleh hanya dekembangkan
kecerdasan tertentu saja, seperti IPA, Matematika, bahasa, secara terpisah,
tetapi terintegrasi ke dalam satu kegiatan. Dengan demikian, setiap permainan
dapat mengembangkan seluruh aspek kecerdasannya.
12. Anak sebagai Pembelajar Aktif
Anak melakukan
sendiri kegiatan pembelajarannya dan guru hanya sebagi fasilitator atau
mengawasi dari jauh. Dalam kegiatan belajar sambil bermain, hendaknya guru
tidak banyak campur tangan karena hal itu justru akan mengganggu kegiatana
anak.
13. Memanfaatkan Potensi Lingkungan
Media dan sumber pembelajaran dapat berasal dari
lingkungan alam sekitar atau bahan-bahan yang sengaja disiapkan (termasuk
bahan-bahn belkas yang berasl dari lingkungan sekitar) oleh pendidik/guru,
termasuk dalam hal ini adalah bahan-bahan untuk membuat permainan edukatif
sendiri.
Keuntungan mengolah bahan tak terpakai (bahan
bekas) secara kreatif untuk dibuat permainan edukatif secara inovatif, antara
lain: (1) karena anak mudah bosan dengan satu permainan, permainan yang akan
dibuat bisa dirancang hanya untuk beberapa kali digunakan. Setelah selesai
digunakan anak sudah bosan, seiring dengan permainan tersebut telah rusak. (2)
guru atau orang tua dapat membuat permainan bersama anak atau calon pengguna,
sehingga bentuk permainan lebih sesuai dengan selera anak. (3) memanfaatkan
lingkungan sebgai permaian dapat menghemat biaya pendidikan anak usia dini.[5]
Dengan demikian, pendidikan akan dapat dimaknai
dan berguna bagi anak ketika beradaptasi dengan lingkungannya. Alam sebagai
sarana pembelajaran. Hal ini didasarkan pada beberapa teori pembelajaran yang
menjadikan alam sebagai sarana yang tak terbatas bagi anak untuk berekplorasi
dan beinteraksi dengan alam dalam membangun pengetahuannya.
Vaquette (1983: 67) mengemukakan bahwa terdapat
tiga aspek penting dalam alam yaitu:
a. Alam merupakan ruang lingkup untuk menemukan
kembali jati diri secara kolektif dan menyusun kembali kehidupan sosial.
b. Alam merupakan runag lingkup yang dapat
diekplorasi.
c. Peranan pendidik di lokasi kegiatan.
14. Anak Belajar melaui Sensori dan Panca Indera
Anak memperoleh pengetuan melaui sensorinya, anak
dapat melihat melalui bayangan yang ditangkap oleh mata, anak dapat
mendengarkan bunyi melalui telinganya, anak dapat merasakan panas dan dingin
lewat perabaannya, anak dapat membedakan bau melaui hidung dan anak dapat
mengetahui aneka rasa mealalui lidahnya.oleh karena itu, pembelajaran pada anak
hendaknya mengarahkan anak pada berbagai kemampuan yang dapat dilakukan oleh
seluruh inderanya.
Anak belajar melalui sensori dan panca indera
menurut pandangan dasar Montessori yang meyakini bahwa panca indera adalah
pintu gerbang masuknya berbagai pengetahuan ke dalam otak manusia (anak).
Karena perannya yang sangat strategis maka seluruh panca indera harus memperoleh
kesempatan untuk berkembang sesuai fungsinya.
15. Anak membangun Pengetahuan Sendiri
Sejak lahir anak
diberi kemampuan. Dalam konsep ini anak diiarkan belajar melaui
pengalaman-pengalaman dan pengetahuan yang dialaminya sejak anak lahir dan
pengetahuan yang telah anak dapatkan selama hidup. Konsep ini diberikan agar
anak dirangsang untuk menambah pengetahuan yang telah diberikan melaui
materi-materi yang disampaian oleh guru dengan caranya sendiri. Anak diberi
fasilitas yang dapat menunjang untuk membangun pengetahuannya sendiri.
16. Anak berpikir melalui Benda Konkret
Dalam konsep ini
anak harus diberikan pembelajaran dengan benda-benda yang nyata agar anak tidak
menerawang atau bingnung. Terciptanya pengalaman melalui benda nyata diharapkan
anak lebih mengerti maksud dari materi-materi yang diajarkan oleh guru.
Anak usia dini
dapat menyerap pengalaman dengan mudah melalui benda-benda yang bersifat
konkret (nyata). Oleh karena itu sebaiknya menggunakan media yang nyata untuk
memberikan pembelajaran pada anak.[6]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
A.
Prinsip-prinsip Teoritis dalam
Pembelajaran/Kegiatan PAUD
Menurut Tina Bruce (1987)
prinsip-prinsip tersebut antara lain:
1. Masa anak-anak adalah sebagian dari kehidupannya
secara keseluruhan.
2. Fisik, mental, dan kesehatan sama pentingnya
dengan berpikir maupun aspek psikis (spiritual) lainnya.
3. Pembelajaran anak usia dini melaui berbagai
kegiatan saling terkait satu dengan yang lainnya sehingga pola stimulasi
perkembangan anak tidak boleh sektoral dan parsial, hanya satu aspek
perkembangan saja.
4. Membangkitkan motivasi intristik (motivasi dari dalam
diri) anak akan menghasilkan inisiatif sendiri (self directed activity) yang sangat bernilai daripada motivasi
ekstrensik.
5. Program pendidikan pada anak usia dini perlu
menekankan pada pentingnya sikap disiplin karena sikap tersebut dapat membentuk
watak dan kepribadiannya.
6. Masa peka (0-3 tahun) untuk mempelajari sesuatu
pada tahap perkembangan tertentu, perlu diobservasi lebih detail.
7. Tolok ukur pembelajaran PAUD hendaknya bertumpu
pada hal-hal atau kegiatan yang telah mampu dikerjakan anak, bukan mengajarkan
hal-hal baru kepada anak, meskipun tujuannya baik karena baik menurut guru dan
orang tua belum tentu baik menurut anak.
8. Suatu kondisi terbaikatau kehidupan terjadi dalam
diri anak (innerlife), khususnya pada
kondisi yang menunjang.
9. Orang-orang disekitar (anak dan orang dewasa)
dalam interaksi merupakan sentral penting karena mereka secara otomatis menjadi
guru bagi anak.
10. Pada hakikatnya, PAUD merupakan interaksi antara
anak, lingkungan, orang dewasa, dan pengetahuan
Menurut Douglas H.
Clements (dalam Hass dan Parkay, 1993: 339) membagi prinsip-prinsip pendidikan
anak usia dini ke dalam empat kategori, yaitu: kategori anak sebagai peserta
didik aktif, anak sebagi pembelajar sosial-emosional, anak sebagai peserta
didik independen (penanggung jawab atas kegiatan yang dilakukannya sendiri) dan
kategori anak sebagai pembelajar di dunia nyata. Dan prinsip-prinsip pendidikan
anak usia dini menurut kategori-kategori diatas adalah sebagai berikut:
1. Pemahaman terhadap anak dilakukan secara
partisipasi aktif dan mengikuti pola perkembangan anak.
2. Memotivasi atau menstimulasi anak untuk membangun
ide-idenya sendiri dan “menguji” ide tersebut melaui aktivitas fisik dan
mental.
3. Menyediakan berbagai kesempatan bagi anak untuk
belajar melalui bermain, dan mengekspresikan idenya dengan bebas-kreatif, serta
mengembangkan minat estetik, keterampilan motorik, dan nilai-nilai moral
keagamaan.
4. Menyediakan kerangka konseptual dan memperbanyak
pada aspek pengertian daripada pengetahuan.
5. Menekankan aspek berpikir, alasan (reasoning), dan pengambilan keputusan
secara mandiri.
6. Menyediakan kesempatan bagi anak untuk
berinteraksi secara sosial untuk menumbuhkan self image yang positif dalam diri anak.
7. Menyediakan berbagai kesempatan untuk belajar
tanpa tuntutan dari orang tua maupun guru.
8. Menyediakan lingkungan (walaupun terbatas) yang
dapat mendorong otonomi atau kebebasan anak untuk bermain secara eksploratif.
9. Menstimulasi, mendorong dan memotivasi anak untuk
mencari relasi atau pergaulan (relationship)
dengan orang lain, melaui pergaulan dalam bermacam problem.
10. Memotivasi anak untuk memperkaya pengalaman dengan
berbagai solusi dan alternatif-alternatif
pemecahan masalah.
11. Memberi peluang kepada anak untuk memiliki
tujuan-tujuan realistik dan dalam memprediksikan atau mengkonfirmasikan suatu
peristiwa.
12. Melatih anak untuk dapat menggunakan beragam
teknik mempermudah belajar dari materi yang kompleks.
13. Menyediakan ruang bagi anak atau memberi kesempatan kepada anak untuk
mengeksplorasi problem-prolem riil, situasi yang bermakna dan material konkret.
14. Menyediakan umpan balik yang memungkinkan adanya
konsekuensi yang wajar dari setiap aktivitas anak.
15. Menumbuhkan motivasi secara intrinstik bukan
ekstrinsik.
B.
Prinsip-prinsip Praktis dalam
Pembelajaran/Kegiatan PAUD
1. Berorientsi pada Kebutuhan Anak
2. Pembelajaran Anak sesuai dengan Perkembangan Anak
3. Mengembangkan Kecerdasan Majemuk Anak
4. Belajar Melaui Bermain
5. Tahapan Pembelajaran Anak Usia Dini
6. Interaksi Sosial Anak
7. Lingkungan yang Kondusif
8. Merangsang Kreativitas dan Inovasi
9. Mengembangkan Kecakapan Hidup
10. Pembelajaran sesuai dengan Kondisi Sosial Budaya
11. Stimulasi Secara Holistik
12. Anak sebagai Pembelajar Aktif
13. Memanfaatkan Potensi Lingkungan
14. Anak Belajar melaui Sensori dan Panca Indera
15. Anak membangun Pengetahuan Sendiri
16. Anak berpikir melalui Benda Konkret
DAFTAR PUSTAKA
Suyadi dan Ulfah, Maulidya, 2013, Konsep
Dasar PAUD, Bandung: Remaja
Rosdakarya.
S. Rahman, Hibana, 2002, Konsep Dasar
Pendidikan Anak Usia Dini,
Yogyakarta: PGTK Press.
Nurani Sujiono, Yuliani, 2009, Konsep
Dasar Pendidikan Anak Usia Dini,
Jakarta: Indeks.
[6] Nurani Sujiono Yulani, Konsep Dasar Pendidikan Anak Usia Dini,
Indeks, Jakarta, 2009, hlm. 90-94.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar