Minggu, 15 April 2018

filsafat pendidikan moral robert coles

membentuk moral robert coles
A.    Filsafat Pendidikan
1.      Pengertian Filsafat
       Menurut Brubacher yang dikutip oleh Muhammad Noor Syam dalam bukunya Filsafat Kependidikan dan Dasar Filsafat Kependidikan Pancasila, mengatakan bahwa:[1]
“Philosophy was, as is estymology from the Greek words filos and sofia, suggest, love of wisdom and learning. More over it was of learning in generals, it sub-sumed under one heading what today we call science as well as what we now call philosophy. It is for this reason that philosophy is often referred to ask the mother as well as the queen of the sciences.”

      Dari makna di atas pada intinya filsafat berarti cinta kebijaksanaan atau belajar ilmu pengetahuan. Lebih dari itu dapat diartikan cinta belajar pada umumnya, dalam proses pertumbuhan ilmu-ilmu science hanya ada dalam apa yang disebut sekarang filsafat. Untuk alasan inilah sering dikatakan bahwa filsafat adalah induk atau ratu pengetahuam.
       Secara sederhana filsafat dapat dipahami dari pembentukan akar kata yang berasal dari bahasa yunani, yaitu kata Philo yang berarti cinta (love) dan Shopia yang berarti kebijaksanaan (wisdom). Filsafat dengan demikian dapat diartikan sebagai cinta kepada kebijaksanaan.[2] Namun perlu dicatat bahwa mencintai kebijaksanaan tidaklah menjadikan seorang menjadi filsuf. Filsafat dalam arti teknis kiranya paling tepat dipahami sebagai hal yang meliputi tiga aspek yaitu sebuah aktivitas (kegiatan), serangkaian sikap, dan sebuah keterpaduan isi.[3] Apa yang dinamakan dengan kebijaksanaan dalam tradisi pemikiran filosof yunani adalah sebagai suatu pemahaman atas kebenaran-kebenaran utama”seperti baik, adil, dan kebenaran itu sendiri, serta penerapan dari kebenaran-kebenaran pertama ini dalam problem-problem kehidupan. Tentang hal ini banyak filosuf yang kurang setuju atas pengertian semacam ini mereka cenderung mnolak eksistensi dari kebenran-kebenaran pertama, dan lebih meyakini filsafat sebagai pemikiran “teoretik”. Secara keseluruhan daripada sekedar perhatian kepada petunjuk atau moral atau tingkah laku.[4]
      Dalam pengertian arti luas Harold Titus mengemukakakan pengertian filsafat sebagai berikut :
a.       filsafat adalah sekumpulan sikap dan kepercayaan terhadap kehidupan dan alam yang biasanya diterima secara kritis
b.      filsafat iallah suatu proses kritik atau pemikiran terhadap  kepercayaan dan sikap yang sangat kita junjung tinggi
c.       filsafat adalah usaha untuk mendapatkan gambaran keseluruhan
d.      filsafat ialah analisis logis dari bahasan danpenjelasan tentang arti konsep
e.       filsafat ialah sekumpulan problem-problem yang langsung mendapat perhatian manusia dan dicarikan jawabannya oleh ahli filsafat [5]
       Filsafat adalah satu lapangan pemikiran dan penyelidikan manusia yang amat luas (komperhensif). Filsafat menjangkau semua persoalan dlam daya kemampuan pikir manusia. Filsafat mencoba mengerti, menganalisis, menilai dan menyimpulkan semua persooalan-persoalan dalam jangkauan rasio manusia, secara kriti, rasional, dan mendalam.dengan perkataan lain, kesimpulan—kesimpulan filsafat bersifat hakiki, meskipun masih relatif dan subjektif. Kedua sifat terakhir ini tidak mungkin dapat dihindarkan, karena adanya sifat-sifat alamiah (koodrati) pada subjek yang melakukan aktivitas beerfilsafat itu sendiri, yaitu manusia sebagai subjek selalu dalm proses perkembangan baik rohani maupun jasmani. Terutama sifat subjek yang selalu cederung memiliki watak subjektifitas, akan melahirkan kesimpulan-kesimpulan yang subjektifitas pula. Faktor-faktiir inilah yang melahirkan aliran-aliran filsafat, perbedaan-perbedaan dalam filsafat, bahkan dapat pula berupa pertentangan-pertentangan asasi, kontradiksi,-kontradiiksi ajaran dan sebagainya.[6]
2.      Pengertian pendidikan
       Pendidikan menurut John A. Laska yang dikutip oleh  George R. Knight dalam bukunya mengatakan bahwa pendidikan adala upaya sengaja yang dilakukan pelajar (yang disertai) orang lainnya untuk mengontrol atau memandu, mengarahkan, mempengaruhi dan megelola situasi belajar agar dapat meraih hasil belajar yang diinginkan.[7] Menurut M.J. Langeveld yang dikutip oleh Sembodo mengatakan bahwa pendidikan atau pedagogi itu adalah kegiatan membimbing anak manusia menuju kepada kedewasaan dan kemandirian. Selain itu, Sembodo juga mengutip dari Kingsley yang mengatakan bahwa “education is the process by wich the nonphysical possessions of a chulture are preserved or increased in the rearing of the young or in the instructtion of adults”. (Pendidikan adalah proses dimana kekayaan budaya non fisik dipelihara atau dikembangkan dalam mengasuh anak-anak atau mengajar orang-orang dewasa.[8]
       Jadi dapat dikatakan bahwa pendidikan adalah upaya sengaja yang dilakukan orang dewasa untuk mengontrol, memandu, mengarahkan, mempengaruhi dan mengelola untuk mengasah kemampuan anak.
3.      Kerangka dasar Filsafat dalam pendidikan
       Filsafat pendidikan tidak jauh berbeda dengan filsafat umum, filsafat pendidikan merupakan filsafat umum yang diterapkan pada pendidikan sebagai sebuah wilayah  spesifik dari usaha serius manusia. Adapun kerangka dasar filsafat yaitu meliputi ontologi, epistemologi dan aksiologi.

a.       Ontologi
       Ontologi atau sering juga disebut metafisika adalah cabang filsafat yang membicarakan tentang hakikat segala sesuatu yang ada, atau membahas watak yang sangat mendasar (ultimate) dari benda, atau realitas yang berada dibelakang pengalaman yang langsung (inmediate experience).[9] Ontologi membahas keberadaan sesuatu yang bersifaat konkret. Hakekat realitas  dapat didekati secara ontologis berdasarkan dua sudut pandang. Pertama, sudut pandang kuantitatif yaitu dengan mempertanyakan apakah kenyataan itu tunggal atau jamak. Kedua, sudut pandang kualitatif yaitu dengan mempertanyakan apakah kenyataan (realitas) tersebut memiliki kualitas tertentu seperti daun yang memiliki warna kehijauan, bunga mawar yang berbau harum. Secara sederhana ontologi bisa dirumuskan sebagai ilmu yang mempelajari realitas atau kenyataan konkrit secara kritis beberapa aliran dalam bidang ontologi adalah realisme, naturalisme dan empirisme.[10]
       Ontologi berbicara tentang segala hal yang ada, maka pertanyaan-pertanyaan yang akan di bongkarnya menjadi tidak terbatas, misalnya apakah hakikat ruang, waktu, gerak, materi, dan perubahan itu? Apakah yang merupakan asal mula jagad raya ini? apakah jiwa dan badan itu? Dan lain sebagainya.[11]
       Menurut george R. Knight dalam buku terjemahan filsafat pendidikan membagi empat sub rangka yaitu pertama, aspek-saspek kosmosis. Kosmosis mencakup kajian dan teori tentang awal mula, hakikat dan perkembangan alam semesta sebagai suatu sistem yang teratur. Kedua, bersifat teologis. Teologis adalah bagaian dri kegamaan yang harus mempergunakan konsep-konsep tentang konsep seputar tuhan. Ketiga, antropologi berkaitan dengan kajian tentang manusia. Aspek antropologi darii segi filsafat merupakan suatu kategori unik karena tidak seperti lingkup investigasi manusia lainnya, manusia menjadi subjek sekaligus obyek penelitian.  Ketika manusia berfilsafat tentang manusia, ia berarti sedang berbicara tentang dirinya sendiri. Aspek metafisika yang terakhir adalah ontologi. Ontologi merupakan kajian tentang hakikat “ada” , atau apa arti sesuatu itu ada.[12]
b.      Epistemologi
       Istilah epistimologi pertama kali dipakai oleh L.F. Ferier pada abad ke 19 di Institut Of Metaphisics. Dalam encylopedia of philosophy epistimologi didefinisaikan sebagai cabang filsafat yang bersangkutan dengan sifat dasar dari ruang lingkup pengetahuan pra-pra anggapan dan dasar-dasarnya serta realitas umum dari tuntutan pengetahuan sebenarnya.[13]
       Epistemologi atau teori pengetahuan, membaca secara mendalam segenap proses yang terlihat dalam usaha untuk memperoleh pengetahuan.[14] Epistimologi adalah logos tentang episteme, yakni pengetahuan tentang pengetahuan yang benar, jadi epistimologi adalah teori tentang hakikat ilmu pengetahuan: pengandaian-pengandaian apa di balik klaim bahwa manusia dapat memiliki pengetahuan yang benar, dasar-dasar pertanggungjawaban terhadap kebenaran pengetahuan manusia, dengan cara apa manusia memperoleh pengetahuan itu (indrawi dan akal budi) dan apa metodenya.[15]
       Adapun sumber-sumber pengetahuan epistimoogi menurut George R. Knigt dalam bukn terjemahan issue and alternatives in education philosophy terbagi menjadi lima sumber, yaitu:[16]
1)      Panca indra
       Empirisme adalah paham yang menganggap pengettahuan dicapai melalui indra, bahwa orang-orang membangun gambaran tentang dunia di sekeliling mereka dengan melihat, mendengar, membau, meraba dan mengecap. Pengetahuan empiris lekat menyatu dalam hakikat pengalaman manusia itu sendiri.
       Pengetahhuan indrawi ditegakkan atas asumsi-asumsi yang harus diterima oleh kepercayaan akan keterandalan sistem kerja daya indra. Pengetahuan empirisme ini adalah bahwa banyak pengalaman indrawi dan eksperimentasi terbuka untuk replikasi dan pengajuan publik.
2)      Wahyu
       Pengetahuan yang diwahyukan merupakan hal yang sangat penting dalam bidang agama. Ia berbeda dari sumber-sumber pengetahuan  lainnya, oleh karena adanya anggapan akan realitas supernatural-transenden yang “menyejarah” kedalam tata kealaman. Wahyu adalah komunikasi Tuhan yang berisi tentang kemauan Tuhan. Orang-orang yang percaya akan wahyu berpendapat bahwa bentuk pengetahuan ini mempunyai kelebihan yang berbeda karena berasal dari sumber informasi yang maha tahu yang tak dapat dicapai lewat cara-cara epistimologis lain. Kebenaran yang diperoleh melali sumber wahyu ini dipercayai absolut dan tidak tercampuri (murni). Beberapa orang beranggapan bahwa kelemahan utama pengetahuan yang diwahyukan adalah ia harus diterima atas dasar iman dan tidak bisa dibuktikan secara empiris.
3)      Otoritas
       Pengetahuan otoritas diakui sebagai kebenaran karena ia berasal dari para ahli atau telah dikuduskan sekian lama sebagai sebuah tradisi. Di dalam ruang kelas, umumnya sebagai sebuah tradisi. Di ruang kelas, umumnya sebagai banyak sumber informasi adalah otortitas, misalkan buku pelajaran, guru atau buku rujukan.
4)      Akal pikir
       Pandangan bahwa penalaran, pemikiran dan logika merupakan faktor sentral dalam pengetahuan, disebut dengan rasionalisme. Seorang rasionalis dalam menekankan kemampuan berfikir manusia dan apa yang disumbangkan akal pikir bagi pengetahuan, tampaknya berpendapat bahwa indra-indra itu sendiri tidak memberikan putusan yang valid secara universal, yang selaras satu sama lain. Dari pandangan ini, cerapan indrawi dan pengalaman yang diperoleh lewat indra-indra adalah bahan mentah bagi pengetahuan. Cerapan-cerapan indrawi ini harus disusun oleh akal pikir kedalam suatu sistem yang bermmakna sebelum menjadi pengetahuan.
5)      Intuisi
        Penangkapan langsung pengetahuan yang bukan hasil dari penalaran kesadaran atau hasil dari cerapan indrawi yang begitu cepat disebut dengan intuisi.intuisi adalah penangkapan langsung pengetahuan yang disertai dengan kuatnya rasa yakin sehingga seseorang menemukan apa yang sedang ia cari. Intuisi dianggap dalam berbagai hal sebagai sumber pengetahuan sekuler dan agama.
       Kelemahan atau bahaya intuisi adalah bahwa ia tidak berwujud sebagai metode yang aman untuk memperoleh pengetahuan ketika digunakan sendirian.
c.       Aksiologi
       Aksiologi adalah cabang filsafat yang berupaya menjawab persoalan :”apa nilai itu?” keterikatan seseorang terhadap nilai-nilai berasal dari kenyataan bahwa ia adalah makhluk yang menilai.[17] Nilai tidak akan timbul dengan sendirinya, nilai timbul karena manusia mempunyai bahasa yang digunakan dalam pergaulan sehari-hari. Jadi masyarakat menjadi wadah timbulnya nilai. Dikatakan mempunyai nilai, apabila berguna, benar (logis), bermoral, etis dan ada nilai religius.[18]
      Kehidupan individual dan sosial yang rasional didasarkan atas suatu sistem nilai. Sistem nilai bukanlah hal yang disetujui secara universal, dan pendapat yang beragam tentang persoalan-persoalan metafisika dan epistimologi menentukan sistem nilai yang berbeda, karena sistem aksiologis dibangun di atas konsepsi-konsepsi tentang realitas dan kebenaran.[19]
      Aksiologi berada pada dasar yang sama dari proses pendidikan. Aspek utama pendidikan adalah pengembangan prefensi-prefensi (kecenderungan diri). Ruang kelas merupakan teater aksiologi dimana sang guru tidak bisa enyembunyikan moral dirinya. Dalam lingkup aksiologi, para guru selalu mengajar lewat perilaku mereka kepada kelompok subjek didik yang masih sangat mudah menerima pengaruh. Sekelompok subjek didik engasimilasi dan mengimitasi strukur nilai para guru mereka hingga tingkat yang signifikan. Aksiologi memiliki dua cabang yaitu:[20]
1)      Etika
       Etika adalah kajian tentang nilai dan perilaku moral. Ia berusaha menjawab pertanyaan seperti “apa yang harus dilakukan?”, “apa itu kehidupan yang baik bagi semua orang?”, dan “ apa perilaku baik itu?”. Teori etika berorientasi pada pengajuan nilai-nilai yang benar sebagai fondasi bagi tindakan-tindakan yang benar.
2)      Estetik
       Estetika adalah dunia nilai yang berusaha mencari prinsip-prinsip yan memadu kreasi dan apresiasi terhadap kehidupan dan seni.  Estetika berkaitan dengan aspek-aspek teoritis seni dalam maknanya yang paling luas dan jangan dikacaukan dengan karya-karya nyata seni atau kritisisme teknis atasnya.
       Seseorang harus menyadari bahwa penilaian estetik adalah bagian dari pengalaman keseharian dan tidak bisa dihindari. Pengalaman estetik seringkali mebawa ke arah indra pencerapan yang tajam (peka), kemampuan untuk memahami makna-makna baru, kehalusan feeling (rasa), dan kepekaan yang luas. Dalam satu sisi, pengalaman estetik terkait erat dengan dunnia kognisi dari pemahaman intelektual, di sisi lain, ia melampaui dunia kognisi menuju dataran afeksi dengan fokus pada rasa dan moral.

4.      Fungsi filsafat pendidikan
       Filsafat pendidikan merupakan sumber pendorong aanya pendidikan. Dalam bentuknya yang lebih terperinci kemudian, filsafat pendidikan enjadi jiwa dan pedoman asasi pendidikan. Erdasarkan hal tersebut, secara sepontan menggerakkan kepada permasalahan lain, yaitu tentang filsafat itu sendiri. Dalam hal ini Brubacher merumuskan fungsi-fungsi filsafat sebagai berikut:[21]
a.       Fungsi spekulatif
      Filsafat pendidikan berusaha mengerti keseluruhan persoalan pendidikan dan mencoba merumuskannya dalam suatu gambaran pokok sebagai pelengkap bagi datadata yang telah ada dari segi ilmiah. Filsafat pendidikan berusaha mengerti keseluruhan persoalan pendidikan dan antar hubungan deengan fakktor-faktor lain yang mempengaruhi pendidikan
b.      Fungsi normatif
       Yaitu sebagai penentu arah, pedoman untuk apa pendidikan itu. Asas ini tersimpul dalam tujuan pedidikan, jenis masyarakat apa yang ideal yang akan kita bina. Khususnya norma moral yang bagaimana sebaiknya yang manusia cita-citakan. Bagaimana filsafat pendidikan memberikan norma dan pertimbangan bagi kenyataan-kenyataan ilmiah yang pada akhirnya membentuk kebudayaan.
c.       Fungsi kritik
       Terutama untuk memberi dasar bagi pengertian kritis-rasional dalam mempertimbangkan dan menafsirkan data-data ilmiaih. Msalnya, data pengukuran analisa evaluasi baik kepribadian maupun prestasi. Fungsi kritk berarti pula analisis dan komparatif atas sesuatu untuk mendapatkan kesimpulan, seperti bagaimana menetapkan klarifikasi prestasi atau pencapaian itu secara tepat dengan data-data obyektif. Juga untuk menetapkan asumsi atau hipotesa yang lelbih reasonable Dalam hal ini, filsafat harus kompeten, mengatasi kelemahan-kelemahan yang ditemukan oleh bidang ilmiah, melengkapinya dengan data dan argumentasi yang tidak didapatkan dari data ilmiah.
d.      Fungsi teori bagi praktek
       Semua ide, konsepsi, analisa dan kesimpulan-kesimpulan filsafat pendidikan adalah berfungsi sebagai teori. Dan tepri ini adalah dasar bagi pelaksanaan atau praktek pendidikan.  Filsafat memberikan prinsip-prinsip umum bagi suatu praktek
e.       Fungsi integratif
       Mengingat fungsi filsafat pendidikan sebagai asas kerohanian atau ruhnya pendidikan, maka fungsi integratif filsafat pendidikan adalah wajar. Artinya, ia sebagai pemadu fungsional semua nilai dan asas normatif dalam ilmu kependidikan.

B.     Menumbuhkan Kecerdasan Moral Pada Anak Perspektif Robert Coles
1.      Biografi Robert Coles
       Martin Robert Coles lahir di Boston, Massachusetts pada tanggal 12 Oktober 1929, kepada Philip Coles, seorang imigran dari Leeds, Inggris, Inggris, dan Sandra Young Coles, berasal dari Sioux City, Iowa. Robert Coles menghadiri Boston Latin School di mana dia bermain tenis, berlari melacak, dan mengedit majalah sastra sekolah. Dia masuk Harvard College pada tahun 1946, di mana dia belajar sastra Inggris dan membantu untuk mengedit majalah sastra sarjana, The Harvard Advocate. Dia lulus magna cum laude dan mendapatkan penghargaan Phi Beta Kappa pada tahun 1950. Dia awalnya bermaksud menjadi guru atau profesor, namun sebagai bagian dari tesis kehormatan seniornya, dia mewawancarai penyair dan dokter William Carlos Williams, yang dengan segera membujuknya untuk masuk ke obat.
       Dia belajar kedokteran di Columbia University College of Physicians and Surgeons, lulus pada tahun 1954. Setelah pelatihan residensi di University of Chicago di Chicago, Illinois (Universitas Chicago Pritzker School of Medicine), Coles pindah ke tempat tinggal psikiatri di Massachusetts General Hospital di Boston, Massachusetts, dan McLean Hospital di Belmont, Massachusetts (dua rumah sakit adalah afiliasi dari Harvard University dan Harvard University Medical School di Cambridge, Massachusetts). Mengetahui bahwa dia dipanggil ke Angkatan Bersenjata A.S. di bawah rancangan "dokter", "Coles bergabung dengan Angkatan Udara pada tahun 1958 dan diberi pangkat kapten. Bidang spesialisasi adalah psikiatri, akhirnya niatnya untuk mengkhususkan diri dalam psikiatri anak
       Dia telah menulis lebih dari delapan puluh buku dan 1300 artikel, hampir semuanya terpusat pada rasa, penalaran, dan kepercayaan moral, spiritual, dan sosial manusia, terutama pada anak-anak tetapi juga pada orang dewasa, terutama penulis, termasuk novelis Walker Percy (yang mendedikasikan novel terakhirnya, The Thanatos Syndrome, kepada Coles), penyair William Carlos Williams, penulis James Agee, novelis Flannery O'Connor, dan yang lainnya, seperti Dorothy Day, Dietrich Bonhoeffer, Simone Weil, dan Dorothy Lange.
      Atas desakan Erik Erikson, pada tahun 1963 Coles berafiliasi dengan University Health Services di Harvard sebagai psikiater penelitian. Secara bertahap, ia mulai mengajar di Harvard Medical School, yang akhirnya menjadi Guru Besar Psikiatri dan Ilmu Kesehatan pada tahun 1977. Ia telah mengajar mata kuliah di berbagai sekolah di Harvard University, termasuk Fakultas Seni Rupa dan Ilmu Pengetahuan, Sekolah Bisnis, Sekolah Hukum, Extension School, dan School of Education, di mana pada tahun 1995 ia diberi posisi baru sebagai James Agee Professor of Social Ethics. Dia datang untuk mengajar kursus tidak hanya dalam arti moral, spiritual, dan sosial anak-anak, tetapi juga pada fenomena tersebut pada umumnya, terutama seperti yang diungkapkan dalam cerita, fiksi sastra dan narasi lisan, dan juga dipengaruhi oleh kondisi kemiskinan dan ketidakadilan sosial. Sebagai profesor lama, Coles telah mempengaruhi generasi sarjana Harvard dan mahasiswa pascasarjana. [3] Pada tahun 2007, Universitas Harvard menamai kuliah Call of Service tahunan untuk menghormati Coles.
       Karyanya telah diakui dengan berbagai penghargaan, termasuk pemilihan American Academy of Arts and Sciences pada tahun 1971, sebuah Penghargaan Pulitzer untuk Jenderal Non-Fiksi pada tahun 1973 untuk rangkaian buku Children of Crisis, sebuah MacArthur Award pada tahun 1981, Presidential Medal Freedom pada tahun 1998, dan National Humanities Medal pada tahun 2001. Dia kemudian mendirikan majalah DoubleTake, yang mendokumentasikan kehidupan orang-orang biasa dengan foto, artikel, esai, puisi, dan cerpen. Majalah ini memenangkan beberapa penghargaan, termasuk National Magazine Award 1998 untuk Editorial Excellence dalam kategori General Excellence.[22]

2.      Kecerdasan Moral Menurut Robert Coles
       Sebelum membahas mengenai kecerdasan moral, Robert Coles dalam buku terjemahan menumbuhkan kecerdasan moral pada anak mengatakan bahwa dalam kajian mengembangkan kecerdasan moral, beliau mengembangkan lebih lanjut pembahasan dalam segi kognisi, psikologis atau moral yang berlangsung terus, dengan memilih segi moral kehidupan anak anak dengan seolah-olah dalam bidang ketiga dalam kegiatan otak: watak sewaktu watak itu tumbuh dari masa awal kehidupan sampai ke masa akil baligh.[23] (watak adalah siapa kita ini sebagaimana diungkapkan dalam tindakan, dalam cara kita hidup, dan apa yang kita lakukan).[24]
       Membahas mengenai kecerdasan moral, menurut Robert Coles mengatakan bahwa kecerdasan moral dihidupkan oleh imajinasi moral, yaitu kemampuan kita yang tumbuh perlahan-lahan untuk merenungkan mana yang benar dan mana yang salah dengan menggunakan sumber emosional maupun intelektual pikiran manusia. [25]
       Ringkasan percakapan Robert Coles dengan McIntosh sebagai profesor sekolah kedokteran mengenai mengenal rumusan katagori kecerdasan moral yaitu [26] Anda akan mengenal kecerdasan moral kapan saja anda melihatnya, Kapan anda mendengarnya sedang beraksi yaitu Seorang anak yang cerdas dalam segi moral itu, cerdas bukan dengan fakta dan angka-angka, melainkan dengan cara tingkahlakunya, Cara berbicaranya dengan/mengenai orang lain dan Memperhitungkan oranglain (tidak meremehkan orang lain)
       Kecerdasan moral tidaklah dicapai hanya dengan mengingat kaidah dan aturan, hanya dengan diskusi abstrak di sekolah atau saat di dapur. Kita tumbuh secara moral sebagai hasil mempelajari bagaimana bersikap terhadap orang lain, bagaimana berperilaku di dunia ini, pelajaran yang ditimbulkan oleh tindakan memasukkan ke dalam hati apa yang kita lihat dan kita dengar.[27] anak-anak merupakan saksi yaitu anak-anak adalah saksi yang selalu memperhatikan moralitasorang dewasa atau tindaka anak menyerupai moralitas orang dewasa. Anak-anak melihat dan mencari isyarat bagaimana orang harus berperilaku dan menemukan banyak sekali isyarat sewaktu kita para orangtua, dan guru mengarungi kehidupan kita, melakukan pilihan, menyapa orang, memperlihatkan dalam tindakan pengandaian, hasrat, dan nilai dasariah kita dan perlu diketahui bahwa para pengamat muda itu jauh lebih banyak daripada yang kita sadari.[28]
       Anak-anak yang baik adalah anak-anak yang terutama telah belajar menganggap serius gagasan dan hasrat untuk menjadi baik, yaitu hidup sesuai dengan hukum emas, hormat pada orang lain, memiliki keretlibatan pikiran, hati, dan jiwa pada keluarga, tetangga, dan bangsanya dan pula telah belajar bahwa masalah kebaikan bukanlah sesuatu yang abstrak, melainkan sesuatu yang konkret dan harus diungkapkan seperti bagaimana mengubah omongan kebaikan menjadi tindakan, saat-saat yang meneguhkan kehadiran kebaikan dalam penghayatan hidup tertentu.[29] Orang yang baik adalah orang yang melakukan kewajibannya, misalnya beribadah, membayar tagihan, tidak menyalahkan orang lain kalau dia punya masalah. [30]
       Ketika kita membahas orang baik pasti kita juga harus mengetahui mengetahui orang yang tidak begituu baik, Yang terbaik ketika kita mendekati masalah nilai-nilai tidak begitu baik apa yang kita tawarkan pada anak-anak kita adalah kita memikirkan apa yang tidak kita harapkan bagi anak-anak kita maupun apa yang kita harapkan untuk mereka peluk. Biasanya yang menjadi ciri orang yang tidak begitu baik adalah penyerapan diri yang hebat dan merusak (informasi yang tidak baik), dengan segala variasi kemurungannya, bahka seperti kita semua tahu, ketegangan antara harga diri yang wajar dengan kesibukan diri yang membuat kita terisolir akan membuat kita kehilangan pendangan terhadap kewajiban kita pada orang lain 9kita tidak lagi mampu melihat orang lain), sedikit perhatian pada hak orang lain,[31] anak menjadi tidak peka (usia sekolah dasar), suka menipu, terlalu mementingkan diri sendiri, menguntungkan diri sendiri. [32] (tidak empati hukum kikir; pikirkan dirimu sendiri terus menerus, dan biarkan oranglain memikirkan dirinya sendiri) [33]

3.      Menumbuhkan kecerdasan moral pada anak perspektif Robert Coles kajian filsafat pendidikan anak usia dini
       Tujuan dari kajian buku menumbuhkan moral pada anak karya Robert Coles ini menekankan dan mendokumentasikan keseriusan moral, keinginan moral pada anak-anak dan oleh karena itu pentingnya pendidikan moral. Pembentukan  moral dapat dilakukan dengan mencari pengalaman sendiri atupun dengan bantuan orang lain. Menumbuhkan kecerdasan moral pada anak dalam hal ini penulis makalah menyajikan dalam bentuk perspektif pendidikan pada ranah anak usia dini. Filsafat pendidikan dalam mengkaji sebuah kajian tidak terlepas dari 3 cabang yaitu ontologi, epistimologi dan aksiologi. Berkaitan dengan hal tersebut, penullis makalah menjadikan ketiga cabang filsafat pendidikan tersebut untuk mengkaji filsafat pendidikan anak usia dini dalam menumbuhkan kecerdasan mora pada anak menurut Robert Coles.

a.       Ontologi
       Ontologi adalah cabang filsafat yang membicarakan tentang hakikat segala sesuatu yang ada, atau membahas watak yang sangat mendasar (ultimate) dari benda, atau realitas yang berada dibelakang pengalaman yang langsung (inmediate experience). Kajian ontologi pada analisis menumbuhkan moral pada anak perspektif Robert Coles tidak terlepas dari unsur manusia, lingkungan dan teologis.
       Berbicara mengenai ontologi tentunya tidak terlepas dari kecerdasan moral anak itu sendiri. Kecerdasan moral sendiri memiliki makna bagaimana manusia mengetahui tingkah laku mana yang benar dan mana yang salah dan tumbuh dari masa awal kehidupan sampai ke masa akil baligh dengan menggunakan sumber emosional maupun intelektual pikiran manusia. Manusia sebagai bagian dari ontologi berkaitan erat dengan membentuk kecerdasan moral anak. manusia dewasa akan menjadi bagian dari pengamatan anak-anak dengan apa yang orang dewasa lakukan. Seperti ungkapan guru sebagai contoh manusia sebagai berikut “Guru kencing berdiri, murid kencing berlari”  yang memiliki makna bahwa  murid biasanya bulat-bulat mencontoh gurunya, maka guru sebaiknya jangan memberikan contoh yang buruk, menjadi tokoh panutan di masyarakat/pejabat negeri hendaknya jangan sampai memberi contoh yang buruk, dan jika seorang pemimpin berbuat buruk, maka pengikut-pengikutnya akan berbuat lebih buruk daripada yang dilakukan oleh pemimpin tersebut.[34]
       Berdasarkan kajian Robert Coles, peran manusia atau orang dewasa memiliki peranan penting dalam pembentukan kecerdasan moral anak seperti berikut anak-anak merupakan saksi yaitu “anak-anak adalah saksi yang selalu memperhatikan moralitas orang dewasa atau tindaka anak menyerupai moralitas orang dewasa. Anak-anak melihat dan mencari isyarat bagaimana orang harus berperilaku dan menemukan banyak sekali isyarat sewaktu kita para orangtua, dan guru mengarungi kehidupan kita, melakukan pilihan, menyapa orang, memperlihatkan dalam tindakan pengandaian, hasrat, dan nilai dasariah kita dan perlu diketahui bahwa para pengamat muda itu jauh lebih banyak daripada yang kita sadari.”[35]
       Sehingga dapat dikatakan bahwa pembentukan kecerdasan moral pada ranah manusia bahwasanya manusia dewasa sejatinya menjadi pedoman dalam pembentukan kecerdasan moral anak. maka dari itu dikemudian hari dapat menjadikan manusia-manusia selanjutnya memiliki kecerdasan moral dan berkembang secara continue. Selain itu, kaitan kecerdasan moral dan manusia dikatakan bahwa dengan memiliki kecerdasan moral, manusia dapat bertingkah laku sesuai dengan norma-norma yang berlaku di lingkungan sosialnya.
       Selanjutnya berkaitan dengan lingkungan atau cosmosis sebagai ruang lingkup dari ontologi. Bahwasanya lingkungan sebagai tempat aktivitas dan bertingkah laku memiliki peranan yang besar sebagaimana lingkungan yang baik akan menjadikan anak-anak memiliki ingkahlaku yang bermoral dan begitu sebaliknya. Pada bab yang berjudul persimpangan-persimpangan moral tingkahlaku yang buruk saksi-saksi yang buruk menerangkan bahwasanya Robert Coles mencoba memperlihatkan bagaimana anak-anak mendapat pelajaran moral dari rumah maupun sekolah, dan di lingkungan permukiman, pelajaran yang dapat membawa mereka ke dalam kesulitan atau keluar dari kesulitan.[36] lingkungan sebagai membentuk aturan-aturan untuk bertingkah laku dengan baik dan benar.
       Ruang lingkup ontologi selanjutnya yaitu teologis atau ketuhanan. Kecerdasan moral dalam kajian teologis memiliki sifat peringatan (boleh atau tidak) dan larangan. Seperti menurut Robert Coles bahwasanya sumber lain dari manusia sebagai pembentukan kecerdasan moral yaitu ceramah resmi atau pembicara tersirat, membaca dan lebih banyak membaca serta diskusi tentang apa yang baru saja di baca, larangan dan peringatan dengan berbagai jenis hukuman, pergi ke tempat ibadah, pengalaman mendengarkan khotbah dan diber tahu pesan-pesan kitab suci, dan pelajaran moral serta kebijaksanaan para pengarang novel, penyair dan penulis sandiwara sekuler.[37] Dari kutipan tersebut bahwa peringatan (boleh atau tidak) dan larangan sebenarnya didapatkan tidak terlepas dari wahyu Tuhan dalam kitab suci dengan melalui perantara penyampaian para penceramah, penyair maupun penulis novel (pengarang cerita). Dengan kitab suci sebagai pedoman manusia, manusia dapat bertingkah laku sesuai apa yang diperintahkan dan apa yang dilarang.
       Dari ketiga ruang lingkup tersebut dapat disimpulkan bahwasanya ontologi dari menumbuhkan kecerdasan moral pada anak Robert Coles bahwasanya kecerdasan moral menjadikan manusia akan semakin beradab dan memilki tingkah laku yang benar, sedangkan lingkungan sebagai tempat membentuk kecerdasan moral dengan aturan-aturan yang berlaku baik di lingkungan rumah, sekolah maupunlingkungan lainnnya, dan dalam ranah teologis bahwasanya kecerdasan moral  tentang tingkah laku yang benar dan salah sudah terdapat dalam kitab suci para pemeluk agama masing-masing.
b.      Epistimologi
       Epistimologi didefinisaikan sebagai cabang filsafat yang bersangkutan dengan sifat dasar dari ruang lingkup pengetahuan pra-pra anggapan dan dasar-dasarnya serta realitas umum dari tuntutan pengetahuan sebenarnya. Epistimologi itu sendiri tidak terlepas dari sumber-sumber pengetauan yang meliputi panca indra, wahyu, otoritas, akal pikir dan intuisi.
       Epistimologi merupakan cabang filsafat yang berkaitan erat dengan proses ataupaun langkah-langkah dalam menggali sesuatu. Berkaitan dengan pembentukan kecerdasan moral pada anak dalam kajian ini fokus pada rentang usia o tahun sampai usia 8 tahun (dua dekade hidup pertama yang sangat penting). Adapun epistimologi dalam membentuk kecerdasan moral pada anak perspektif Robert Coles yaitu didapatkan dari sumber panca indra, akal pikir dan intuisi pada anak, adapun prosesnya sebagai berikut:
1)      Stimulasi dalam kandungan
       Pada awal kehidupannya, seorang anak dibentuk oleh nilai-nilai orang dewasa. Stimulasi untuk anak pada masa dalam kandungan sangatlah penting bagi pertumbuhan dan perkembangan anak terutama dalam hal ini yaitu perkembangan kecerdasan moral anak. pada masa anak masih di dalam kandungan, orang tua sudah mengungkapkan nilai-nilai mereka dengan cara yang akan mmpengaruhi perkembangan kecerdasan moral anak. seperti hasil paparan Robert Coles sebagai berikut:
       “Seoraang perempuan berusaha memikirkan orang lain, bukan hanya dirinya sendiri, sehingga ia berhati-hati pada apa yang akan ia makan atau ia minum, menjauhi rokok, mengunjungi dokter kandungan secara teratur. Semuanya ia lakukan bukan karena ia prihatin terhadapdirinya sendiri, melainkan juga karena memikirkan calon anaknya. Seorang laki-laki memperhatikan perempuan yang mengandung anaknya, yang juga anak istrinya, mengunjungi dokter bersama istrinya, memberikannya hiburan, peneguhan, kasih sayang sebagai orang yang sangat terlibat dengan suatu peristiwa penting: kehamilan yang dipikirkan oleh dua orang, perhatian bagi orang ketiga yang segera akan datang. Sikap penuh kassih sayang ini yang dihayato setiap hari berakibat langsung pada janin yang sedang tumbuh: saat paling awal dalam kehidupannya ketika hukum emas secara menentukan akan mempengaruhi kehidupannya.”[38]
       Selanjutnya Robert Coles menerangkn bahwa orang yang segera akan menjdi ibu, yang betul-betul memikirkan kehamilannya, yang berusaha melakukan “hal yang benar” tentu saja selain didorong oleh pengetahuan medis, juga karena keyakinan moril, “saya menghargai anak yang sedang saya kandung nii, dan saya menilai diri saya sebagai orang yang segera akan menjadi ibunya, dan sebagai akibatnya saaya akan berhati-hati (secara meedis, fisik, tetapi sekali lagi secara tersirat dalam hal moral juga) mengamati bagaimana saya hidup, apa yang harus saya lakukan.”[39]
       Kita tahu bahwa bayi yang diperlakuka kasar dan tidak diperhatikan akan menjadi apatis dan menarik diri dari dunia yang mereka tahu tidak mempedulikan mereka, bahkan mengancam mereka. Anak lain yang diabaikan dengan tidak begitu kasar, menjadi penakut, memilih cara sendiri menanggapi lingkungan yang gagal meyakinkan mereka  secara berarti dan mereka menjadi mudah marah, resah, banyak menuntut seoalah-olah mereka belajar bahwa mereka berada dalam bahaya dan karenanya harus berpegang erat-erat pada kehidupan yang berharga, menegaskan terus klaim mereka terhadap dunia kehidupan orang dewasa sehingga kebaikan hatinya cukup jelas untuk menentukan nasib mereka sehati-hari.[40]
       Sehingga dapat dikatakan bahwa setimulasi moral dapat dibentuk sejak dalam kandungan dengan memberikan stimulasi berupa perhatian, kasih sayang dan bagi seorang ibu harus bersikap dan bertingkah laku yang baik sebagai rangsangan yang diterima ketika masih dalam kandungan.
2)      Keteladanan atau percontohan
       Keteladanan atau percontohan orang dewasa pada anak-anak menjadi salah satu cara bagaimana menumbuhkan kecerdasan moral anak dengan cara memberikan contoh bertingkah laku dengan baik sesuai dengan aturan yang berlaku di masyarakat. menurut Robert Coles dalam buku menumbuhkan kecerdasan moral pada anak yang berkaitan dengan ketauladanan orang dewasa yaitu menekankan ajaran moral yang paling meyakinkan yang dapat kita lakukan sebagai orang dewasa adalah dengan percontohan, dikarenakan bahwa anak merupakan saksi kehidupan kita, dan anak melihat cara kita bersikap dengan orang lain, dan cara sikap berbicara kita kepada mereka dan bergaul dengan mereka, semua itu akan ditangkap secara perlahan-lahan dan simulatif oleh anak-anak kita, murid-murid kita.[41]
       Beliau juga menambahkan penguat mengenai orang dewasa selaku manusia yang dicontoh dan diperhatikan oleh anak yaitu “ bila anda menunjukkan perhatian dan keprihatinan kepada anak anda, bila anda mengerjakannya bahwa anda betul-betul mendampinginya dan anda menginginkan yang terbaik baginya, sekaku, ia akan belajar untuk menanggapi dan ia akan mengikuti nasihaht anda dan mengikuti contoh anda, sebab ia berhubungan dangan anda secara mantap.[42]
       Sehingga dapat disimpulkan bahwa peran orang dewasa sebagai figur anak-anak perlu memberikan contoh moral yang baik dikarenakan anak-anak dalam perkembangannya dalam hal ini kecerdasan moral berupa imitasi dari orang dewasa.
3)      Pembiasaan
      Mengawali pembahasan tentang pembiasaan dalam membentuk kecerdasan moral anak, Robert Coles mengatakan bahwa “saya pikir, kita sudah mulai mengirimkan sinyal-sinyal kepada anak sejak hari pertama mereka lahir” sinyal tersebut memiliki arti “isyarat yang sadar”. Isyarat dan sadar ini maksutnya “saya berusaha mengatakan kepada anak laki-laki saya sejak awal bahwasanya saya ingin ia merasa diinginkan dan merasa bebas untuk tumbuh, tetapi saya tidak ingin ia berfikir bahwa ia sangat tinggi nilainya dan angat berkuasa sehingga ia boleh saja menabrak saya dan menabrak ayahnya atau menabrak kami.”  Kalau kita membiarkan seorang anak menganggap dirinya penting, penting sekali dan saya ingin agar anak saya memikirkan orang lain, bukan hanya dirinya sendiri.[43]
       Maka dari itu pembiasaan ini dapat di lakukan sejak pada tahun-tahun pertama seperti halnya dalam pengalaman Robert Coles dalam buku menummbuhkan kecerdasan moral pada anak yaitu” oke oke kamu sudah banyak menyusu, memndapat semua yang kamu butuhkan, kamu harus belajar bahwa dunia tidak seluruhnya berputar di sekeliling dirimu. Kamu harus beajar bahwa ada orang lain dan bahwa mereka harus hidup, persisi seperti kamuhidup dan dengan demikian menangislah sebentar saja lalu tidurlah”[44] hal ini menunjukkan bahwasanya pembiasaaan sudah dapat di awali sejak tahun pertama anak dengan memberikan aturan dan membiasakan untuk semua tidak semua keinginan anak dituruti.
       Selain itu, contoh lain dari pembiasaan dalam kajian Robert Coles memberikan contoh pada bagian “kerja sama awal”. Dalam bagian ini dipaparkan contoh sebagai berikut: “ sebaagian di antara kita tak punya waktu untuk mengubah setiap saat dengan anak-anak kita menjadi sebuah seimar. Saya berdiri dekat perapian, saya terlambat menyiapkan makan malam, anak saaya membuat saya capek denan segala kegiatannya, kegiayan yang tak habis-habis dan satu-satunya yang saya inginkan hanyalah supaya dia tenang dan enghabiskan makan malamnya, sementara saya masak makan mala jami, makan malam suami dan saya. Tetapi tidak, dia berniat untuk embuat heboh. Oh saya tahu dia tidak berfikir begitu. Dia sekedar menjadi anak normal berumur satu setengah tahun. Yah saya sekedar menjadi seoran ibu yang normal yang bekerja dan kelelahan dan saya ingin sedikit kerjasama. Itulah yang saya katakan. Anak saya barangkali tidak mampu memberi anda definisi kamus mengengai kata itu, tetapi ia tahu apa maksudnya: maksudnya adalah hentikan apa yang sedang kamu lakukan. Amaksutnya berhentilah, artinya kamu tak mungkin mendesak saya satu millimeter lagi, artinya tidak tidak! Bila di mendengar saya berkata “bekerja samalah” dia akan berhenti berbicara dan berhenti bergerak. Dia pergi ke meja dan duduk.” [45]
       Dari cerita ini bahwasanya anak dibiasakan untuk dapat bekerjasama dengan orang dewasa dengan baik sehingga tidak melakukan sesuai dengan keinginannya sendiri dan orangtua harus memberikan aturan dan pembiasaan yang baik. Selain itu anak diajarkan dan dibasakan untuk mampu memahami orang lain dan tidak  mementingkan dirinya sendiri, walaupau tahap memahami oranglain masih dalam tahapan pebiasaan saja.
       Penjelasan metode pembiasaan pada anak usia lima tahun ketika berangkat ke sekolah. Dalam pembahasan “ jemputan sekola sebagai permulaan :pertanyaan mengapa seorang anak”.pembiasaan ini dilakukan oleh ibu jeanie yang membiasakan anak untuk berangkat sekolah dengan mobil jemputan bukan mobil pribadi. jeanie bertanya pada ibunya, “mengapa ibu tidak mengantar aku ke sekolah denan mobil saja?, saya berkata karena akan jadi banyak sekali mobil disitu, terlalu banyak kalau semua ibu-ibu mengantar kan anak-anaknya dengan mmobil. Tetapi jeanie berkata bahwa semua ibu kan juga pergi ke supermarket atau taman kanak-akanan, ke oawai, taman ria, dan bioskop dan jalannya cukup besar untuk menampung lalu lintas itu. Tetapi saya berusaha tidak keluar jalur, jadi saya hanya berkata, “bagaimana biasanya orang melakukannya, jeanie. Seiap orang pergi ke sekolah naik jemputan, tetapi ia terus bertanyadan saya tetap berkata tidak.[46]
       Dari penglaman anaknya tersebut, bahwasanya si ibu memberikan pembiasaan untuk membiasakan anak belajar tentang menghargai orang lain dan sebab akibat yang benar. Hal ini akan membentuk kecerdasan moral pada anak.
4)      Pola asuh
a)      Demokrasi
       Demokrasi dalam pola asuh anak sebagai bentuk pengasuhan untuk mengarahkan dengan ditandai pengakuan orang tua terhadap kemampuan anak-anaknya, dan kemudian anak diberi kesempatan untuk tidak selalu tergantung kepada orang tua serta adanya komunikasi dua arah untuk mendapatkan kesimpulan yang baik dan benar. Dalam menumbuhkan kecerdasan moral pada anak, salah satu contoh yang dapat dilihat pengasuhan demokrasi  yaitu sebagai berikut: “sekarang anak kecil yang melempar botol itu dapat diberi tahu agar jangan melakukannya dan dapat juga ditanya mengapa. Dan disamping itu seorang ibu dapat menjelaskan alasan-alasanya mengatakanjangan. Oleh karena itu dalam bahasa uncullah kemungkinan-kemungkinan peluang peluang dan tanggung jawab sehingga muncullah hidup yang kita kenal sebagai makhluk berbicara, manafsirkan, menggagas, makhluk yang juga meaampu membiasakan untuk melakukan penelitian batin moral.”[47]
b)      Liberal
       Pola asuh liberal yaitu orang tua mendidik anak secara bebas, anak dianggap seperti orang dewasa dan ia diberi kelonggaran seluas-luasnya apa saja yang dikehendaki. Dalam hal pembentukan kecerdasan moral pada anak, penggunaan pola asuh liberal yang membebaskan anak dalam menentukan pillihan mana yang baik dan buruk serta yang benar dan tidak. Bimbingan orang dewasa (orangtua) sangatlah perlu dan tidak semata-mata membebaskan dikarenakan membentuk kecerdasan moral anak dibentuk karena bantuan orang dewasa bukan anak-anak usia pra sekolah mencarinya dengan sendiri atau bebas tanpa bantuan orang dewasa.
c)      Otoriter
       pola asuh yang ditandai dengan cara mengasuh anak-anaknya dengan aturan-aturan, dan melakukan sesuatu sama seperti apa yang diinginkan orang tua dan kebebasan untuk bertindak atas nama diri sendiri dibatasi. Dalam kajian ini dijelaskan enurut robert coles yaitu” kita orang tua pada bulan-bulan pertama kehidupan, kita harus menentukan batasan-batasan bagi anak kita sendiri bahwa kita mengatakan jangan maupun tidak, bahwa kita terlibat dan campur tangan maupun membiarkan segala sesuatunya terjadi atau kita engabaikannya, lalu kita memang bertindak sebagi guru, tetap tidak menyajikan pelajaran-pelajaran enganai sifat acuh tak acuh, tidak memperhatikan atau tidak peduli atau apati, dan pada akhirnya pelajaran-pelajaran yang memberikan kebingungan moral”[48]
5)      Reward
       Pemberian hadiah terkadang dapat membantu anak untuk mengikuti perintah orang dewasa terutama dalam hal ini yaitu berkaitan dengan moral. Banyak orang tua memiliki teknik dan cara tersendiri untuk membentuk moral pada anak. salah satu contoh ibu-ibu yang memilik segi psikologi untuk membentuk kecerdasan moral anak, yaitu“seorang ibu mengatakan bahwa berbicara tentang memberi hadiah anak-anaknya dengan pujian sebagai sarana untuk enertibkan mereka, meilih titik-titik kuat mereka untuk disetujui bahlan diberi pujian”.[49]
       Dalam pembentukan ini sering kali tingkah laku anak mengalami kemunduran, tingkah laku yang keliru dan bagaimana menangani mereka. Hal ini Robert Coles memberikan sebuah pendapat bahwasanya sebagai orang dewasa atau orangtua harus kembali kepada keyakinan bahwa bagaimana, dengan cara yang beraneka ragam dan kata ya dan tidak yang diberikan oleh orang tua sangat berarti bagi anak-anak, bahkan sekali mereka mempelajari makna kedua itu (tidak), mereka telah betul-betul secara definsif memulai pendidikan moral mereka. Perjalanan mereka sebagai makhluk manusia yang memilliki kemampuan untuk memilih, meskipun masih coba-coba dan asih goyah, bagi para pemula untuk memilih saat-saat tak terbilang banyak untuk menentukan ini atau itu yang belum membentuk kehidupan moral kita. Menggunakan kata ya dan tidak, beliau mengingatkan tentang kisaran tanggapan-tanggapan mereka berbeda-beda namuns emuanya pantas dipertimbangkan.[50]
6)      Kebutuhan kasih sayang
       Perkembangan seorang anak sebagai dasar kehidupan anak selanjutnya, peran orang tua sangatlah penting untuk mengoptimalkan perkembangan anak. dalam tingkatan perkembangan moral, anak mampu cerdas memilih mana yang baik dan mana yang buruk. Dalam pembentukan kecerdasan moral ini, kebutuhan kasih sayang sangatlah penting guna tercapaiya moral yang baik bagi anak.
       Robert Coles mengatakan bahwa orang tua punya sebuah peluang untuk mengajar bahkan bayi yang belum satu tahun, dan tentu saja bayi yang sudah dua atau tiga tahun, bagaimana berhasil menguasai naluri-naluri tadi, hasrat-hasrat dan keinginan tadi, saat-saat kecewa dan frustasi yang merupakan bagian kasih, bagian hidup. Sebuah bayi beruntung memilliki orang tua yang memperlihatkan kasih kepada mereka dan yang membalas mengasihi, tetapi tidak menjadi budak-budak seolah-olah bagi tuntutan-tuntutan anak mereka ataupun hasrat gugup mereka sendiri yang wajar bagi semua orang di antara kita, untuk memberi sebanyak yang kita miliki dan sesering mungkin kepada anak laki-laki maupun perempuan.[51] Dari ungkapan tersebut bahwasanya kasih sayang sangatlah penting kasih sayang orangtua ke anak untuk menumbuhkan kehangatan dan mengarahkan anak dalam tingktan moral yang tepat.
       Akan tetapi seringkali orangtua berlebih-lebihan dalam memberikan kasih sayang pada anak. beliau Robert Coles menambahkan bahwa orang tua kurang yakin mengenai dirinya sendiri atau tidak memiliki pengendalian diri dn dengan demikian membiarkan perhatian serta kasih sayang merosot (dari yang sesuai menjadi tidak sesuai) dan  menjadi suatu pemanjaan yang dapat membingungkan anak.[52]
7)      Pembelajaran Langsung Atau Direct Learning
       Tanpa disadari anak membentuk moralitasnya dengan caranya masing-masing, salah satunya dengan mengasimilasikan pengatuan yang sudah didapatnya dengan pengetahuan yang baru. Pada kajian bab “visi teleskopik visi moral” seorang anak yang berumur 6 tahun memiliki kegemaran bermain telesskop. Dengan teleskop tersebut anak dapat mengamati pergerakan benda-benda di luar angkasa dan mengetahui gejala-gejalanya seperti bintang-bintang.
       Anak usia 6 tahun berkata pada Robert Coles sebagai berikut “ bintang-bintang itu bergerak dengan cepat bahkan bila kelihatannya tidak bergerak satu senti pun” saya pun mengangguk. Kemudia ia memutuskan  bahwa saya perlu tahu lebih banyak. Seorang sahabat saya mengatakan pada saya bahwasanya Tuhan menajga bintang-bintang itu agar tidak bertabrakan satu sama lain, tetapi saya katakan kepadanya, tidak, Tuhan tidak seperti itu, ia memberikan segala sesuatu dan kemudian sesuatu itu berdiri sendiri dan manusia juga.  Disekolah minggu pagi  mereka berkataitu terserah kita apakah kita akan menjadi baik atau jahat dan seperti itulah hal nya dengan bintang-bintang, mereka terus menerus bergerak dan bila mereka keluar dari jalur, hal itu karena ada sesuatu yang tidak beres itu kecelakaan,  itu bukan tuhan mengantuk atau marah”.[53]
       Kemuadian pada percakapan selanjutnya tentang anak menggabungkan pengetahuan yang dimilikinya ketika menggunakan teleskopik unuk melihat luar angkasa dengan informasi dari berita. “ ia mmberi tahu saya tanpa saya minta, saya mendengar pemacaaan berita mengatakan bahwa ada bahan beracun masuk ke udara. Kecelakaan nuklir Charnoblyl baru saja berlangsung minggu lalu. Kalau manusia tidak mempelajari hal yang benar untuk dikerjakan, mereka dapat mencelakakan siapa saja, dan tindakan itu akan menghancurkan bumi.”[54]  Hal ini menunjukkan dari apa yang anak pelajari tentang luar angkasa dan berita yang ia dapatkan, kecerdasan moral anak akan tumbuh dan kepekaan untuk bertingkah laku yang baik juga akan mengikuti dengan seiringnya pembelajaran dan eksperimen yang anak lakukan sendiri.
c.       Aksiologi
       Aksiologi atau yang sering dikenl dengan kajian mengenai value atau nilai tentang sesuatu. Nilai tidak akan timbul dengan sendirinya, nilai timbul karena manusia mempunyai bahasa yang digunakan dalam pergaulan sehari-hari. Jadi masyarakat menjadi wadah timbulnya nilai. Dikatakan mempunyai nilai, apabila berguna, benar (logis), bermoral, etis dan ada nilai religius.[55] Dalam kajian ini, aksiologi tidak terlepas dari cabang utama yaitu etika(apa yang harus dilakukan dalam kehidupan ini) dan estetika (kepekaan terhadap lingkungan sekitar).
       Robert Coles mengatakan bahwa pada usia tiga atau empat tahun seorang anak telah belajar membantu dunia dengan cara-cara penting, telah belajar merawat dirinya sendiri, mengendalikan dirinya sendiri, makan sendiri. Dan dengan perhatian serta pertimbangan yang memadai bagi apa yang oleh orang lain di sebut sopan santun, ia telah belajar berbicara secara jelas dan dengan rasa hormat sepantasnya bagi orang lain, tanpa itu mustahil berlangsung percakapan dua arah yang lama. Semua itu butuh pembentukan selama bertahun-tahun memiliki kaitan dengan perkembangan watak yang tak disadari, yang hasilnya adalah seorang anak yang telah belajar untuk menaati peraturan-peraturan rumahnya, untuk berlaku sopan baik di rumah maupun di lingkungan tetangganya.[56]
       Aksiologi atau nilai pada anak dalam hal kecerdasan moral, yaitu anak mampu memahami mana yang benar dan mana yang salah dan bagaimana mengatur dirinya sendiri untuk berbuat atau bertingkahlaku yang benar dan baik, pada kajian ini seperti tidak mementingkan diri sendiri, tidak mudah marah, tidak posesif, tidak suka mengeluh, tidak mengamuk, tidak mudah murung dan menaruh rasa curiga, dapat memahami orang lain dan mengucapkan kata yang baikk seperti “terimakasih” dan lain sebagainya.
       Robert Coles selanjutnya menerangkan masalah benar dan salah, baik dan buruk sewaktu masalah iu timbul di mana saja, di setiap tempat dalam kehidupan kita. Seorang anak laki-laki yang tampaknya dibelokkan oleh kecemburuan intelektual (dan saya duga oleh kecenderungan emosional) dari masalah-masalah planet ini menggeluti suatu minat tetap terhadap planet-planet lain ternyata berminat untuk menangani pernyataan-pernyataan paling bea=sar yang menghinggapi kita semua yang tinggal di bumi yaitu bagaimana bertingkahlaku kita daat mempengaruhi kodrati eksistensi itu sendiri, kodrati kehidupan sebagaimana ada di sini.”[57]




C.    Implementasi Pendidikan Moral Pada Lembaga PAUD
       Implementasi bagaimana menumbuhkan kecerdasan moral pada anak usia dini dari usia 4-6 tahun yang berada pada jenjang pendidikan formal taman kanak-kanak. Anak usia dini dalam menerima dan menyerap tingkahlaku dari imitasi pada orang dewasa dikarenakan dalam tahapan proses pencarian pengetahuan bersifat figuratif. Maka dari itu, implementasi menumbuhkan kecerdasan moral anak tidak terlepas dari peranan pendidik (memberi contoh dan membiasakan), model pembelajaran yang sesuai (area, BCCT) sebagai pengoptimalan perkembangan anak terutama moral, selain itu kurikulum yang dibuat juga dapat membantu dalam menumbuhkan kecerdasan moral anak, dan pemberian perhatian kasih sayang pada anak untuk  menciptakan rasa hangat seperti di rumah sehingga anak merasa nyaman dan merasa  senang dan dianggap keberadaannya
       Peran pendidik yang baik dan benar yaitu mengetahui karakteristik dan tumbuh kembang anak sehingga dapan mengoptimalkan perkembangan dan menjadikan anak cerdas seacara moral dengan tanpa paksaan dan tekanan.  selalu membiasakan perilaku yang benar dan memberi contoh yang baik dan benar serta.
       Pada tahapan figuratif ini, peran guru sangat penting untuk menumbuhkan kecerdasan moral anak dengan melalui percontohan, keteladanan yang baik dan benar setiap hari baik dalam kelas maupun diluar kelas. Sumber pengetahuan yang bersumber dari akal pikir dan intuisi dalam penerapan di pendidikan anak usia dini dapat dilakukan dengan menggunakan metode bercerita, seperti cerita para nabi, sahabat nabi dan cerita yang memiliki moral yang baik.







DAFTAR PUSTAKA

Coles, Robert. 2000. Menumbuhkan Kecerdasan Moral Pada Anak terjemahan T. Hermaya. Gramedia: Jakarta
Syam, Mohammad Noor. 1986. Filsafat Kependidikan Dan Dasar Filsafat Kependidikan Pancasila. Surabaya:Usaha Nasional.
Widodo, Sembodo Ardi. 2009. Filsafat Wacana Pendidikan Kontemporer. Yogyakarta:Pustaka Felicha.
George R. Knight. 2007. Filsafat Pendidikan terjemahan Maahmud Arif. Yogyakarta: Gama Media
Jalaludin dan Abdullah Idi. 2012.  Filsafat Pendidikan. Jogjakarta:Ar-Ruz Media.
Poeswardojo, Soerjanto. 2016. Filsafat Ilmu Pengetahuan. Jakarta:Gramedia.
Jujun S. Suriasumantr. 2012Ilmu Dalam Perspektif. Jakarta: Yayasan Pustaka obor Indonesia.




                [1]Mohammad Noor Syam, Filsafat Kependidikan Dan Dasar Filsafat Kependidikan Pancasila, (Surabaya:Usaha Nasional), 1986. hlm 21
                [2]Sembodo Ardi Widodo, Filsafat Wacana Pendidikan Kontemporer, (Yogyakarta:Pustaka Felicha, 2009), hlm. 5
                [3] George R. Knight. Filsafat Pendidikan terjemahan Maahmud Arif, (Yogyakarta: Gama Media, 2007), hlm 6
                [4] Sembodo Ardi Widodo, Filsafat Wacana Pendidikan,.. hlm. 5
                [5] Jalaludin dan Abdullah Idi. Filsafat Pendidikan. (Jogjakarta:Ar-Ruz Media, 2012). hlm 15
                [6] Mohammad Noor Syam, Filsafat Kependidikan ,.. hlm. 16
[7] [7] George R. Knight. Filsafat Pendidikan terjemahan Mahmud Arif, (Yogyakarta: Gama Media, 2007), hlm.15
                [8] Sembodo Ardi Widodo, Filsafat Wacana Pendidikan,.. hlm. 16
                [9] Sembodo Ardi Widodo, Filsafat Wacana Pendidikan,..hlm 11
                [10] Soerjanto Poeswardojo. Filsafat Ilmu Pengetahuan. (Jakarta:Gramedia, 2016) Hlm 30
                [11] Sembodo Ardi Widodo, Filsafat Wacana Pendidikan.,,hlm. 11
                [12] George R. Knight. Filsafat Pendidikan, .. hlm 25
                [13] Jalaludin dan Abdullah Idi. Filsafat ... hlm 128
                [14]Jujun S. Suriasumantri, Ilmu Dalam Perspektif, (Jakarta: Yayasan Pustaka obor Indonesia, 2012), hlm. 11
                [15] Soerjanto Poeswardojo. Filsafat Ilmu Pengetahuan. (Jakarta:Gramedia, 2016) hlm, 173
                [16] George R. Knight. Filsafat Pendidikan, ..hlm. 34
                [17] Ibid., hlm. 47
                [18] Jalaludin dan Abdullah Idi. Filsafat, .. hlm 179
                [19] George R. Knight. Filsafat Pendidikan, .. hlm.  47
                [20] Ibid., hlm. 49
                [21] Sembodo Ardi Widodo, Filsafat Wacana Pendidikan,.. hlm. 19
                [22] https://en.wikipedia.org/wiki/Robert_Coles diakses tanggal 5 Desember 2017
                [23]Robert Coles, Menumbuhkan Kecerdasan Moral Pada Anak terjemahan T. Hermaya, (Gramedia: Jakarta, 2000), hlm. x
                [24] Ibid., hlm. 8
                [25]Ibid., hlm.  3
                [26] Ibid., hlm. 4
                [27] Ibid., hlm. 5
                [28] Ibid., hlm. 5
                [29] Ibid., hlm. 19
                [30] Ibid., hlm. 31
                [31] Ibid., hlm. 25
                [32] Ibid., hlm. 26
                [33] Ibid., hlm. 29
                [34] https://id.wikiquote.org/wiki/Guru_kencing_berdiri,_murid_kencing_berlari, diakses tanggal 5 Desember 2017
                [35] Robert Coles, Menumbuhkan Kecerdasan Moral ..,  hlm. 5
                [36] Ibid., hlm. 37
                [37] Ibid., hlm. 36
                [38] Ibid., hlm. 75
                [39] Ibid., hlm. 76
                [40] Ibid., hlm. 76
                [41] Ibid., hlm. 36
                [42] Ibid., hlm. 96
                [43] Ibid., hlm. 84
                [44] Ibid., hlm. 84
                [45] Ibid., hlm. 91
                [46]Ibid., hlm.  121
                [47] Ibid., hlm.  88
                [48] Ibid., hlm. 102
                [49] Ibid., hlm. 94
                [50] Ibid., hlm. 95-95
                [51] Ibid., hlm. 110
                [52] Ibid., hlm. 110
                [53] Ibid., hlm. 125
                [54] Ibid., hlm. 126
                [55] Jalaludin dan Abdullah Idi. Filsafat, .. hlm. 179
                [56] Robert Coles, Menumbuhkan Kecerdasan Moral ..,  hlm. 128
                [57] Ibid., hlm. 127

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Strategi Branding Enterpreneur / strategi merek pada pendidikan

Strategi Branding Enterpreneur

  Strategi Branding Enterpreneur Silahkan akses di artikel saya yang terbit di jurnal golden age pendidikan anak usia dini universitas islam...