membentuk moral robert coles
A.
Filsafat
Pendidikan
1.
Pengertian Filsafat
Menurut Brubacher yang dikutip oleh
Muhammad Noor Syam dalam bukunya Filsafat Kependidikan dan Dasar Filsafat
Kependidikan Pancasila, mengatakan bahwa:[1]
“Philosophy
was, as is estymology from the Greek words filos and sofia, suggest, love of
wisdom and learning. More over it was of learning in generals, it sub-sumed
under one heading what today we call science as well as what we now call
philosophy. It is for this reason that philosophy is often referred to ask the
mother as well as the queen of the sciences.”
Dari makna di atas pada intinya filsafat
berarti cinta kebijaksanaan atau belajar ilmu pengetahuan. Lebih dari itu dapat
diartikan cinta belajar pada umumnya, dalam proses pertumbuhan ilmu-ilmu science
hanya ada dalam apa yang disebut sekarang filsafat. Untuk alasan inilah sering
dikatakan bahwa filsafat adalah induk atau ratu pengetahuam.
Secara
sederhana filsafat dapat dipahami dari pembentukan akar kata yang berasal dari
bahasa yunani, yaitu kata Philo yang berarti cinta (love) dan Shopia
yang berarti kebijaksanaan (wisdom). Filsafat dengan demikian dapat
diartikan sebagai cinta kepada kebijaksanaan.[2]
Namun perlu dicatat bahwa mencintai kebijaksanaan tidaklah menjadikan seorang
menjadi filsuf. Filsafat dalam arti teknis kiranya paling tepat dipahami sebagai
hal yang meliputi tiga aspek yaitu sebuah aktivitas (kegiatan), serangkaian
sikap, dan sebuah keterpaduan isi.[3] Apa
yang dinamakan dengan kebijaksanaan dalam tradisi pemikiran filosof yunani
adalah sebagai suatu pemahaman atas kebenaran-kebenaran utama”seperti baik, adil,
dan kebenaran itu sendiri, serta penerapan dari kebenaran-kebenaran pertama ini
dalam problem-problem kehidupan. Tentang hal ini banyak filosuf yang kurang
setuju atas pengertian semacam ini mereka cenderung mnolak eksistensi dari
kebenran-kebenaran pertama, dan lebih meyakini filsafat sebagai pemikiran
“teoretik”. Secara keseluruhan daripada sekedar perhatian kepada petunjuk atau
moral atau tingkah laku.[4]
Dalam
pengertian arti luas Harold Titus mengemukakakan pengertian filsafat sebagai
berikut :
a.
filsafat adalah sekumpulan sikap
dan kepercayaan terhadap kehidupan dan alam yang biasanya diterima secara
kritis
b.
filsafat iallah suatu proses kritik
atau pemikiran terhadap kepercayaan dan
sikap yang sangat kita junjung tinggi
c.
filsafat adalah usaha untuk
mendapatkan gambaran keseluruhan
d.
filsafat ialah analisis logis dari
bahasan danpenjelasan tentang arti konsep
e.
filsafat ialah sekumpulan
problem-problem yang langsung mendapat perhatian manusia dan dicarikan
jawabannya oleh ahli filsafat [5]
Filsafat adalah satu lapangan pemikiran dan
penyelidikan manusia yang amat luas (komperhensif). Filsafat menjangkau semua
persoalan dlam daya kemampuan pikir manusia. Filsafat mencoba mengerti,
menganalisis, menilai dan menyimpulkan semua persooalan-persoalan dalam
jangkauan rasio manusia, secara kriti, rasional, dan mendalam.dengan perkataan
lain, kesimpulan—kesimpulan filsafat bersifat hakiki, meskipun masih relatif
dan subjektif. Kedua sifat terakhir ini tidak mungkin dapat dihindarkan, karena
adanya sifat-sifat alamiah (koodrati) pada subjek yang melakukan aktivitas
beerfilsafat itu sendiri, yaitu manusia sebagai subjek selalu dalm proses
perkembangan baik rohani maupun jasmani. Terutama sifat subjek yang selalu
cederung memiliki watak subjektifitas, akan melahirkan kesimpulan-kesimpulan
yang subjektifitas pula. Faktor-faktiir inilah yang melahirkan aliran-aliran
filsafat, perbedaan-perbedaan dalam filsafat, bahkan dapat pula berupa
pertentangan-pertentangan asasi, kontradiksi,-kontradiiksi ajaran dan
sebagainya.[6]
2.
Pengertian pendidikan
Pendidikan menurut John A. Laska yang
dikutip oleh George R. Knight dalam
bukunya mengatakan bahwa pendidikan adala upaya sengaja yang dilakukan pelajar
(yang disertai) orang lainnya untuk mengontrol atau memandu, mengarahkan,
mempengaruhi dan megelola situasi belajar agar dapat meraih hasil belajar yang
diinginkan.[7] Menurut
M.J. Langeveld yang dikutip oleh Sembodo mengatakan bahwa pendidikan atau
pedagogi itu adalah kegiatan membimbing anak manusia menuju kepada kedewasaan
dan kemandirian. Selain itu, Sembodo juga mengutip dari Kingsley yang
mengatakan bahwa “education is the process by wich the nonphysical
possessions of a chulture are preserved or increased in the rearing of the
young or in the instructtion of adults”. (Pendidikan adalah proses dimana
kekayaan budaya non fisik dipelihara atau dikembangkan dalam mengasuh anak-anak
atau mengajar orang-orang dewasa.[8]
Jadi dapat dikatakan bahwa pendidikan
adalah upaya sengaja yang dilakukan orang dewasa untuk mengontrol, memandu, mengarahkan,
mempengaruhi dan mengelola untuk mengasah kemampuan anak.
3.
Kerangka dasar Filsafat dalam
pendidikan
Filsafat pendidikan tidak jauh berbeda
dengan filsafat umum, filsafat pendidikan merupakan filsafat umum yang
diterapkan pada pendidikan sebagai sebuah wilayah spesifik dari usaha serius manusia. Adapun
kerangka dasar filsafat yaitu meliputi ontologi, epistemologi dan aksiologi.
a.
Ontologi
Ontologi atau sering juga disebut
metafisika adalah cabang filsafat yang membicarakan tentang hakikat segala
sesuatu yang ada, atau membahas watak yang sangat mendasar (ultimate)
dari benda, atau realitas yang berada dibelakang pengalaman yang langsung (inmediate
experience).[9] Ontologi
membahas keberadaan sesuatu yang bersifaat konkret. Hakekat realitas dapat didekati secara ontologis berdasarkan
dua sudut pandang. Pertama, sudut pandang kuantitatif yaitu dengan
mempertanyakan apakah kenyataan itu tunggal atau jamak. Kedua, sudut pandang
kualitatif yaitu dengan mempertanyakan apakah kenyataan (realitas) tersebut
memiliki kualitas tertentu seperti daun yang memiliki warna kehijauan, bunga
mawar yang berbau harum. Secara sederhana ontologi bisa dirumuskan sebagai ilmu
yang mempelajari realitas atau kenyataan konkrit secara kritis beberapa aliran
dalam bidang ontologi adalah realisme, naturalisme dan empirisme.[10]
Ontologi berbicara tentang segala hal
yang ada, maka pertanyaan-pertanyaan yang akan di bongkarnya menjadi tidak
terbatas, misalnya apakah hakikat ruang, waktu, gerak, materi, dan perubahan
itu? Apakah yang merupakan asal mula jagad raya ini? apakah jiwa dan badan itu?
Dan lain sebagainya.[11]
Menurut george R. Knight dalam buku
terjemahan filsafat pendidikan membagi empat sub rangka yaitu pertama,
aspek-saspek kosmosis. Kosmosis mencakup kajian dan teori tentang awal mula,
hakikat dan perkembangan alam semesta sebagai suatu sistem yang teratur. Kedua,
bersifat teologis. Teologis adalah bagaian dri kegamaan yang harus
mempergunakan konsep-konsep tentang konsep seputar tuhan. Ketiga, antropologi
berkaitan dengan kajian tentang manusia. Aspek antropologi darii segi filsafat
merupakan suatu kategori unik karena tidak seperti lingkup investigasi manusia
lainnya, manusia menjadi subjek sekaligus obyek penelitian. Ketika manusia berfilsafat tentang manusia,
ia berarti sedang berbicara tentang dirinya sendiri. Aspek metafisika yang
terakhir adalah ontologi. Ontologi merupakan kajian tentang hakikat “ada” ,
atau apa arti sesuatu itu ada.[12]
b.
Epistemologi
Istilah epistimologi pertama kali
dipakai oleh L.F. Ferier pada abad ke 19 di Institut Of Metaphisics. Dalam encylopedia
of philosophy epistimologi didefinisaikan sebagai cabang filsafat yang
bersangkutan dengan sifat dasar dari ruang lingkup pengetahuan pra-pra anggapan
dan dasar-dasarnya serta realitas umum dari tuntutan pengetahuan sebenarnya.[13]
Epistemologi atau teori pengetahuan,
membaca secara mendalam segenap proses yang terlihat dalam usaha untuk
memperoleh pengetahuan.[14] Epistimologi
adalah logos tentang episteme, yakni pengetahuan tentang pengetahuan
yang benar, jadi epistimologi adalah teori tentang hakikat ilmu pengetahuan:
pengandaian-pengandaian apa di balik klaim bahwa manusia dapat memiliki
pengetahuan yang benar, dasar-dasar pertanggungjawaban terhadap kebenaran pengetahuan
manusia, dengan cara apa manusia memperoleh pengetahuan itu (indrawi dan akal
budi) dan apa metodenya.[15]
Adapun sumber-sumber pengetahuan
epistimoogi menurut George R. Knigt dalam bukn terjemahan issue and
alternatives in education philosophy terbagi menjadi lima sumber, yaitu:[16]
1)
Panca indra
Empirisme adalah paham yang menganggap
pengettahuan dicapai melalui indra, bahwa orang-orang membangun gambaran
tentang dunia di sekeliling mereka dengan melihat, mendengar, membau, meraba
dan mengecap. Pengetahuan empiris lekat menyatu dalam hakikat pengalaman
manusia itu sendiri.
Pengetahhuan indrawi ditegakkan atas
asumsi-asumsi yang harus diterima oleh kepercayaan akan keterandalan sistem
kerja daya indra. Pengetahuan empirisme ini adalah bahwa banyak pengalaman
indrawi dan eksperimentasi terbuka untuk replikasi dan pengajuan publik.
2)
Wahyu
Pengetahuan yang diwahyukan merupakan
hal yang sangat penting dalam bidang agama. Ia berbeda dari sumber-sumber
pengetahuan lainnya, oleh karena adanya
anggapan akan realitas supernatural-transenden yang “menyejarah” kedalam tata
kealaman. Wahyu adalah komunikasi Tuhan yang berisi tentang kemauan Tuhan.
Orang-orang yang percaya akan wahyu berpendapat bahwa bentuk pengetahuan ini
mempunyai kelebihan yang berbeda karena berasal dari sumber informasi yang maha
tahu yang tak dapat dicapai lewat cara-cara epistimologis lain. Kebenaran yang
diperoleh melali sumber wahyu ini dipercayai absolut dan tidak tercampuri
(murni). Beberapa orang beranggapan bahwa kelemahan utama pengetahuan yang
diwahyukan adalah ia harus diterima atas dasar iman dan tidak bisa dibuktikan
secara empiris.
3)
Otoritas
Pengetahuan otoritas diakui sebagai
kebenaran karena ia berasal dari para ahli atau telah dikuduskan sekian lama
sebagai sebuah tradisi. Di dalam ruang kelas, umumnya sebagai sebuah tradisi. Di
ruang kelas, umumnya sebagai banyak sumber informasi adalah otortitas, misalkan
buku pelajaran, guru atau buku rujukan.
4)
Akal pikir
Pandangan bahwa penalaran, pemikiran dan
logika merupakan faktor sentral dalam pengetahuan, disebut dengan rasionalisme.
Seorang rasionalis dalam menekankan kemampuan berfikir manusia dan apa yang
disumbangkan akal pikir bagi pengetahuan, tampaknya berpendapat bahwa
indra-indra itu sendiri tidak memberikan putusan yang valid secara universal,
yang selaras satu sama lain. Dari pandangan ini, cerapan indrawi dan pengalaman
yang diperoleh lewat indra-indra adalah bahan mentah bagi pengetahuan.
Cerapan-cerapan indrawi ini harus disusun oleh akal pikir kedalam suatu sistem
yang bermmakna sebelum menjadi pengetahuan.
5)
Intuisi
Penangkapan langsung pengetahuan yang
bukan hasil dari penalaran kesadaran atau hasil dari cerapan indrawi yang
begitu cepat disebut dengan intuisi.intuisi adalah penangkapan langsung
pengetahuan yang disertai dengan kuatnya rasa yakin sehingga seseorang
menemukan apa yang sedang ia cari. Intuisi dianggap dalam berbagai hal sebagai
sumber pengetahuan sekuler dan agama.
Kelemahan atau bahaya intuisi adalah
bahwa ia tidak berwujud sebagai metode yang aman untuk memperoleh pengetahuan
ketika digunakan sendirian.
c.
Aksiologi
Aksiologi adalah cabang filsafat yang
berupaya menjawab persoalan :”apa nilai itu?” keterikatan seseorang terhadap
nilai-nilai berasal dari kenyataan bahwa ia adalah makhluk yang menilai.[17]
Nilai tidak akan timbul dengan sendirinya, nilai timbul karena manusia
mempunyai bahasa yang digunakan dalam pergaulan sehari-hari. Jadi masyarakat
menjadi wadah timbulnya nilai. Dikatakan mempunyai nilai, apabila berguna,
benar (logis), bermoral, etis dan ada nilai religius.[18]
Kehidupan individual dan sosial yang
rasional didasarkan atas suatu sistem nilai. Sistem nilai bukanlah hal yang
disetujui secara universal, dan pendapat yang beragam tentang persoalan-persoalan
metafisika dan epistimologi menentukan sistem nilai yang berbeda, karena sistem
aksiologis dibangun di atas konsepsi-konsepsi tentang realitas dan kebenaran.[19]
Aksiologi berada pada dasar yang sama
dari proses pendidikan. Aspek utama pendidikan adalah pengembangan
prefensi-prefensi (kecenderungan diri). Ruang kelas merupakan teater aksiologi
dimana sang guru tidak bisa enyembunyikan moral dirinya. Dalam lingkup
aksiologi, para guru selalu mengajar lewat perilaku mereka kepada kelompok
subjek didik yang masih sangat mudah menerima pengaruh. Sekelompok subjek didik
engasimilasi dan mengimitasi strukur nilai para guru mereka hingga tingkat yang
signifikan. Aksiologi memiliki dua cabang yaitu:[20]
1)
Etika
Etika adalah kajian tentang nilai dan
perilaku moral. Ia berusaha menjawab pertanyaan seperti “apa yang harus
dilakukan?”, “apa itu kehidupan yang baik bagi semua orang?”, dan “ apa
perilaku baik itu?”. Teori etika berorientasi pada pengajuan nilai-nilai yang benar
sebagai fondasi bagi tindakan-tindakan yang benar.
2)
Estetik
Estetika adalah dunia nilai yang
berusaha mencari prinsip-prinsip yan memadu kreasi dan apresiasi terhadap
kehidupan dan seni. Estetika berkaitan
dengan aspek-aspek teoritis seni dalam maknanya yang paling luas dan jangan
dikacaukan dengan karya-karya nyata seni atau kritisisme teknis atasnya.
Seseorang harus menyadari bahwa penilaian
estetik adalah bagian dari pengalaman keseharian dan tidak bisa dihindari.
Pengalaman estetik seringkali mebawa ke arah indra pencerapan yang tajam
(peka), kemampuan untuk memahami makna-makna baru, kehalusan feeling
(rasa), dan kepekaan yang luas. Dalam satu sisi, pengalaman estetik terkait
erat dengan dunnia kognisi dari pemahaman intelektual, di sisi lain, ia
melampaui dunia kognisi menuju dataran afeksi dengan fokus pada rasa dan moral.
4.
Fungsi filsafat pendidikan
Filsafat pendidikan merupakan sumber
pendorong aanya pendidikan. Dalam bentuknya yang lebih terperinci kemudian,
filsafat pendidikan enjadi jiwa dan pedoman asasi pendidikan. Erdasarkan hal
tersebut, secara sepontan menggerakkan kepada permasalahan lain, yaitu tentang
filsafat itu sendiri. Dalam hal ini Brubacher merumuskan fungsi-fungsi filsafat
sebagai berikut:[21]
a.
Fungsi spekulatif
Filsafat
pendidikan berusaha mengerti keseluruhan persoalan pendidikan dan mencoba
merumuskannya dalam suatu gambaran
pokok sebagai pelengkap bagi datadata yang telah ada dari segi ilmiah. Filsafat
pendidikan berusaha mengerti keseluruhan persoalan pendidikan dan antar
hubungan deengan fakktor-faktor lain yang mempengaruhi pendidikan
b. Fungsi normatif
Yaitu sebagai penentu arah, pedoman untuk apa pendidikan itu. Asas ini
tersimpul dalam tujuan pedidikan, jenis masyarakat apa yang ideal yang akan
kita bina. Khususnya norma moral yang bagaimana sebaiknya yang manusia
cita-citakan. Bagaimana filsafat pendidikan memberikan norma dan pertimbangan
bagi kenyataan-kenyataan ilmiah yang pada akhirnya membentuk kebudayaan.
c. Fungsi kritik
Terutama untuk memberi dasar bagi pengertian kritis-rasional dalam mempertimbangkan dan menafsirkan data-data ilmiaih. Msalnya, data
pengukuran analisa evaluasi baik kepribadian maupun prestasi. Fungsi kritk
berarti pula analisis dan komparatif atas sesuatu untuk mendapatkan kesimpulan,
seperti bagaimana menetapkan klarifikasi prestasi atau pencapaian itu secara
tepat dengan data-data obyektif. Juga untuk menetapkan asumsi atau hipotesa
yang lelbih reasonable Dalam hal ini, filsafat harus kompeten, mengatasi
kelemahan-kelemahan yang ditemukan oleh bidang ilmiah, melengkapinya dengan
data dan argumentasi yang tidak didapatkan dari data ilmiah.
d. Fungsi teori bagi praktek
Semua ide, konsepsi, analisa dan kesimpulan-kesimpulan filsafat pendidikan adalah berfungsi sebagai teori. Dan tepri ini adalah
dasar bagi pelaksanaan atau praktek pendidikan.
Filsafat memberikan prinsip-prinsip umum bagi suatu praktek
e. Fungsi integratif
Mengingat fungsi filsafat pendidikan sebagai asas kerohanian atau ruhnya
pendidikan, maka fungsi integratif filsafat pendidikan adalah wajar. Artinya,
ia sebagai pemadu fungsional semua nilai dan asas normatif dalam ilmu kependidikan.
B.
Menumbuhkan Kecerdasan
Moral Pada Anak Perspektif Robert Coles
1.
Biografi Robert Coles
Martin Robert Coles lahir di
Boston, Massachusetts pada tanggal 12 Oktober 1929, kepada Philip Coles,
seorang imigran dari Leeds, Inggris, Inggris, dan Sandra Young Coles, berasal
dari Sioux City, Iowa. Robert Coles menghadiri Boston Latin School di mana dia
bermain tenis, berlari melacak, dan mengedit majalah sastra sekolah. Dia masuk
Harvard College pada tahun 1946, di mana dia belajar sastra Inggris dan
membantu untuk mengedit majalah sastra sarjana, The Harvard Advocate. Dia lulus
magna cum laude dan mendapatkan penghargaan Phi Beta Kappa pada tahun 1950. Dia
awalnya bermaksud menjadi guru atau profesor, namun sebagai bagian dari tesis
kehormatan seniornya, dia mewawancarai penyair dan dokter William Carlos
Williams, yang dengan segera membujuknya untuk masuk ke obat.
Dia belajar kedokteran di
Columbia University College of Physicians and Surgeons, lulus pada tahun 1954.
Setelah pelatihan residensi di University of Chicago di Chicago, Illinois
(Universitas Chicago Pritzker School of Medicine), Coles pindah ke tempat tinggal
psikiatri di Massachusetts General Hospital di Boston, Massachusetts, dan
McLean Hospital di Belmont, Massachusetts (dua rumah sakit adalah afiliasi dari
Harvard University dan Harvard University Medical School di Cambridge,
Massachusetts). Mengetahui bahwa dia dipanggil ke Angkatan Bersenjata A.S. di
bawah rancangan "dokter", "Coles bergabung dengan Angkatan Udara
pada tahun 1958 dan diberi pangkat kapten. Bidang spesialisasi adalah
psikiatri, akhirnya niatnya untuk mengkhususkan diri dalam psikiatri anak
Dia telah menulis
lebih dari delapan puluh buku dan 1300 artikel, hampir semuanya terpusat pada
rasa, penalaran, dan kepercayaan moral, spiritual, dan sosial manusia, terutama
pada anak-anak tetapi juga pada orang dewasa, terutama penulis, termasuk
novelis Walker Percy (yang mendedikasikan novel terakhirnya, The Thanatos
Syndrome, kepada Coles), penyair William Carlos Williams, penulis James Agee,
novelis Flannery O'Connor, dan yang lainnya, seperti Dorothy Day, Dietrich
Bonhoeffer, Simone Weil, dan Dorothy Lange.
Atas desakan Erik Erikson, pada tahun
1963 Coles berafiliasi dengan University Health Services di Harvard sebagai
psikiater penelitian. Secara bertahap, ia mulai mengajar di Harvard Medical
School, yang akhirnya menjadi Guru Besar Psikiatri dan Ilmu Kesehatan pada
tahun 1977. Ia telah mengajar mata kuliah di berbagai sekolah di Harvard
University, termasuk Fakultas Seni Rupa dan Ilmu Pengetahuan, Sekolah Bisnis,
Sekolah Hukum, Extension School, dan School of Education, di mana pada tahun
1995 ia diberi posisi baru sebagai James Agee Professor of Social Ethics. Dia
datang untuk mengajar kursus tidak hanya dalam arti moral, spiritual, dan
sosial anak-anak, tetapi juga pada fenomena tersebut pada umumnya, terutama
seperti yang diungkapkan dalam cerita, fiksi sastra dan narasi lisan, dan juga
dipengaruhi oleh kondisi kemiskinan dan ketidakadilan sosial. Sebagai profesor
lama, Coles telah mempengaruhi generasi sarjana Harvard dan mahasiswa
pascasarjana. [3] Pada tahun 2007, Universitas Harvard menamai kuliah Call of
Service tahunan untuk menghormati Coles.
Karyanya telah diakui dengan berbagai
penghargaan, termasuk pemilihan American Academy of Arts and Sciences pada
tahun 1971, sebuah Penghargaan Pulitzer untuk Jenderal Non-Fiksi pada tahun
1973 untuk rangkaian buku Children of Crisis, sebuah MacArthur Award pada tahun
1981, Presidential Medal Freedom pada tahun 1998, dan National Humanities Medal
pada tahun 2001. Dia kemudian mendirikan majalah DoubleTake, yang
mendokumentasikan kehidupan orang-orang biasa dengan foto, artikel, esai,
puisi, dan cerpen. Majalah ini memenangkan beberapa penghargaan, termasuk
National Magazine Award 1998 untuk Editorial Excellence dalam kategori General
Excellence.[22]
2.
Kecerdasan Moral Menurut Robert
Coles
Sebelum membahas mengenai kecerdasan
moral, Robert Coles dalam buku terjemahan menumbuhkan kecerdasan moral pada
anak mengatakan bahwa dalam kajian mengembangkan kecerdasan moral, beliau
mengembangkan lebih lanjut pembahasan dalam segi kognisi, psikologis atau moral
yang berlangsung terus, dengan memilih segi moral kehidupan anak anak dengan
seolah-olah dalam bidang ketiga dalam kegiatan otak: watak sewaktu watak itu
tumbuh dari masa awal kehidupan sampai ke masa akil baligh.[23]
(watak adalah siapa kita ini sebagaimana diungkapkan dalam tindakan, dalam cara
kita hidup, dan apa yang kita lakukan).[24]
Membahas mengenai kecerdasan moral, menurut
Robert Coles mengatakan bahwa kecerdasan moral dihidupkan oleh imajinasi moral,
yaitu kemampuan kita yang tumbuh perlahan-lahan untuk merenungkan mana yang
benar dan mana yang salah dengan menggunakan sumber emosional maupun
intelektual pikiran manusia. [25]
Ringkasan percakapan Robert Coles dengan
McIntosh sebagai profesor sekolah kedokteran mengenai mengenal rumusan katagori
kecerdasan moral yaitu [26] Anda
akan mengenal kecerdasan moral kapan saja anda melihatnya, Kapan anda
mendengarnya sedang beraksi yaitu Seorang anak yang cerdas dalam segi moral itu,
cerdas bukan dengan fakta dan angka-angka, melainkan dengan cara tingkahlakunya,
Cara berbicaranya dengan/mengenai orang lain dan Memperhitungkan oranglain
(tidak meremehkan orang lain)
Kecerdasan moral tidaklah dicapai hanya
dengan mengingat kaidah dan aturan, hanya dengan diskusi abstrak di sekolah
atau saat di dapur. Kita tumbuh secara moral sebagai hasil mempelajari
bagaimana bersikap terhadap orang lain, bagaimana berperilaku di dunia ini,
pelajaran yang ditimbulkan oleh tindakan memasukkan ke dalam hati apa yang kita
lihat dan kita dengar.[27] anak-anak
merupakan saksi yaitu anak-anak adalah saksi yang selalu memperhatikan
moralitasorang dewasa atau tindaka anak menyerupai moralitas orang dewasa.
Anak-anak melihat dan mencari isyarat bagaimana orang harus berperilaku dan
menemukan banyak sekali isyarat sewaktu kita para orangtua, dan guru mengarungi
kehidupan kita, melakukan pilihan, menyapa orang, memperlihatkan dalam tindakan
pengandaian, hasrat, dan nilai dasariah kita dan perlu diketahui bahwa para
pengamat muda itu jauh lebih banyak daripada yang kita sadari.[28]
Anak-anak yang baik adalah anak-anak
yang terutama telah belajar menganggap serius gagasan dan hasrat untuk menjadi
baik, yaitu hidup sesuai dengan hukum emas, hormat pada orang lain, memiliki
keretlibatan pikiran, hati, dan jiwa pada keluarga, tetangga, dan bangsanya dan
pula telah belajar bahwa masalah kebaikan bukanlah sesuatu yang abstrak,
melainkan sesuatu yang konkret dan harus diungkapkan seperti bagaimana mengubah
omongan kebaikan menjadi tindakan, saat-saat yang meneguhkan kehadiran kebaikan
dalam penghayatan hidup tertentu.[29]
Orang yang baik adalah orang yang melakukan kewajibannya, misalnya beribadah,
membayar tagihan, tidak menyalahkan orang lain kalau dia punya masalah. [30]
Ketika kita
membahas orang baik pasti kita juga harus mengetahui mengetahui orang yang
tidak begituu baik, Yang terbaik ketika kita mendekati masalah nilai-nilai
tidak begitu baik apa yang kita tawarkan pada anak-anak kita adalah kita memikirkan
apa yang tidak kita harapkan bagi anak-anak kita maupun apa yang kita harapkan
untuk mereka peluk. Biasanya yang menjadi ciri orang yang tidak begitu baik
adalah penyerapan diri yang hebat dan merusak (informasi yang tidak baik),
dengan segala variasi kemurungannya, bahka seperti kita semua tahu, ketegangan
antara harga diri yang wajar dengan kesibukan diri yang membuat kita terisolir
akan membuat kita kehilangan pendangan terhadap kewajiban kita pada orang lain
9kita tidak lagi mampu melihat orang lain), sedikit perhatian pada hak orang
lain,[31] anak
menjadi tidak peka (usia sekolah dasar), suka menipu, terlalu mementingkan diri
sendiri, menguntungkan diri sendiri. [32] (tidak
empati hukum kikir; pikirkan dirimu sendiri terus menerus, dan biarkan
oranglain memikirkan dirinya sendiri) [33]
3.
Menumbuhkan kecerdasan moral pada
anak perspektif Robert Coles kajian filsafat pendidikan anak usia dini
Tujuan dari kajian buku menumbuhkan
moral pada anak karya Robert Coles ini menekankan dan mendokumentasikan
keseriusan moral, keinginan moral pada anak-anak dan oleh karena itu pentingnya
pendidikan moral. Pembentukan moral
dapat dilakukan dengan mencari pengalaman sendiri atupun dengan bantuan orang
lain. Menumbuhkan kecerdasan moral pada anak dalam hal ini penulis makalah
menyajikan dalam bentuk perspektif pendidikan pada ranah anak usia dini.
Filsafat pendidikan dalam mengkaji sebuah kajian tidak terlepas dari 3 cabang
yaitu ontologi, epistimologi dan aksiologi. Berkaitan dengan hal tersebut,
penullis makalah menjadikan ketiga cabang filsafat pendidikan tersebut untuk
mengkaji filsafat pendidikan anak usia dini dalam menumbuhkan kecerdasan mora
pada anak menurut Robert Coles.
a.
Ontologi
Ontologi adalah cabang filsafat yang
membicarakan tentang hakikat segala sesuatu yang ada, atau membahas watak yang
sangat mendasar (ultimate) dari benda, atau realitas yang berada
dibelakang pengalaman yang langsung (inmediate experience). Kajian
ontologi pada analisis menumbuhkan moral pada anak perspektif Robert Coles
tidak terlepas dari unsur manusia, lingkungan dan teologis.
Berbicara mengenai ontologi tentunya
tidak terlepas dari kecerdasan moral anak itu sendiri. Kecerdasan moral sendiri
memiliki makna bagaimana manusia mengetahui tingkah laku mana yang benar dan
mana yang salah dan tumbuh dari masa awal kehidupan sampai ke masa akil baligh
dengan menggunakan sumber emosional maupun intelektual pikiran manusia. Manusia
sebagai bagian dari ontologi berkaitan erat dengan membentuk kecerdasan
moral anak. manusia dewasa akan menjadi bagian dari pengamatan anak-anak dengan
apa yang orang dewasa lakukan. Seperti ungkapan guru sebagai contoh manusia
sebagai berikut “Guru kencing berdiri, murid kencing berlari” yang memiliki makna bahwa murid biasanya bulat-bulat mencontoh gurunya,
maka guru sebaiknya jangan memberikan contoh yang buruk, menjadi tokoh panutan
di masyarakat/pejabat negeri hendaknya jangan sampai memberi contoh yang buruk,
dan jika seorang pemimpin berbuat buruk, maka pengikut-pengikutnya akan berbuat
lebih buruk daripada yang dilakukan oleh pemimpin tersebut.[34]
Berdasarkan kajian Robert Coles, peran
manusia atau orang dewasa memiliki peranan penting dalam pembentukan kecerdasan
moral anak seperti berikut anak-anak merupakan saksi yaitu “anak-anak adalah
saksi yang selalu memperhatikan moralitas orang dewasa atau tindaka anak
menyerupai moralitas orang dewasa. Anak-anak melihat dan mencari isyarat
bagaimana orang harus berperilaku dan menemukan banyak sekali isyarat sewaktu
kita para orangtua, dan guru mengarungi kehidupan kita, melakukan pilihan,
menyapa orang, memperlihatkan dalam tindakan pengandaian, hasrat, dan nilai
dasariah kita dan perlu diketahui bahwa para pengamat muda itu jauh lebih
banyak daripada yang kita sadari.”[35]
Sehingga dapat dikatakan bahwa
pembentukan kecerdasan moral pada ranah manusia bahwasanya manusia dewasa
sejatinya menjadi pedoman dalam pembentukan kecerdasan moral anak. maka dari
itu dikemudian hari dapat menjadikan manusia-manusia selanjutnya memiliki
kecerdasan moral dan berkembang secara continue. Selain itu, kaitan
kecerdasan moral dan manusia dikatakan bahwa dengan memiliki kecerdasan moral,
manusia dapat bertingkah laku sesuai dengan norma-norma yang berlaku di
lingkungan sosialnya.
Selanjutnya berkaitan dengan lingkungan
atau cosmosis sebagai ruang lingkup dari ontologi. Bahwasanya lingkungan
sebagai tempat aktivitas dan bertingkah laku memiliki peranan yang besar
sebagaimana lingkungan yang baik akan menjadikan anak-anak memiliki ingkahlaku
yang bermoral dan begitu sebaliknya. Pada bab yang berjudul
persimpangan-persimpangan moral tingkahlaku yang buruk saksi-saksi yang buruk
menerangkan bahwasanya Robert Coles mencoba memperlihatkan bagaimana anak-anak
mendapat pelajaran moral dari rumah maupun sekolah, dan di lingkungan
permukiman, pelajaran yang dapat membawa mereka ke dalam kesulitan atau keluar
dari kesulitan.[36] lingkungan
sebagai membentuk aturan-aturan untuk bertingkah laku dengan baik dan benar.
Ruang lingkup ontologi selanjutnya yaitu teologis
atau ketuhanan. Kecerdasan moral dalam kajian teologis memiliki sifat
peringatan (boleh atau tidak) dan larangan. Seperti menurut Robert Coles
bahwasanya sumber lain dari manusia sebagai pembentukan kecerdasan moral yaitu
ceramah resmi atau pembicara tersirat, membaca dan lebih banyak membaca serta
diskusi tentang apa yang baru saja di baca, larangan dan peringatan dengan
berbagai jenis hukuman, pergi ke tempat ibadah, pengalaman mendengarkan khotbah
dan diber tahu pesan-pesan kitab suci, dan pelajaran moral serta kebijaksanaan
para pengarang novel, penyair dan penulis sandiwara sekuler.[37]
Dari kutipan tersebut bahwa peringatan (boleh atau tidak) dan larangan
sebenarnya didapatkan tidak terlepas dari wahyu Tuhan dalam kitab suci dengan
melalui perantara penyampaian para penceramah, penyair maupun penulis novel (pengarang
cerita). Dengan kitab suci sebagai pedoman manusia, manusia dapat bertingkah
laku sesuai apa yang diperintahkan dan apa yang dilarang.
Dari ketiga ruang lingkup tersebut dapat
disimpulkan bahwasanya ontologi dari menumbuhkan kecerdasan moral pada anak Robert
Coles bahwasanya kecerdasan moral menjadikan manusia akan semakin beradab dan
memilki tingkah laku yang benar, sedangkan lingkungan sebagai tempat membentuk
kecerdasan moral dengan aturan-aturan yang berlaku baik di lingkungan rumah,
sekolah maupunlingkungan lainnnya, dan dalam ranah teologis bahwasanya
kecerdasan moral tentang tingkah laku
yang benar dan salah sudah terdapat dalam kitab suci para pemeluk agama
masing-masing.
b.
Epistimologi
Epistimologi didefinisaikan sebagai
cabang filsafat yang bersangkutan dengan sifat dasar dari ruang lingkup
pengetahuan pra-pra anggapan dan dasar-dasarnya serta realitas umum dari
tuntutan pengetahuan sebenarnya. Epistimologi itu sendiri tidak terlepas dari
sumber-sumber pengetauan yang meliputi panca indra, wahyu, otoritas, akal pikir
dan intuisi.
Epistimologi
merupakan cabang filsafat yang berkaitan erat dengan proses ataupaun langkah-langkah
dalam menggali sesuatu. Berkaitan dengan pembentukan kecerdasan moral pada anak
dalam kajian ini fokus pada rentang usia o tahun sampai usia 8 tahun (dua
dekade hidup pertama yang sangat penting). Adapun epistimologi dalam membentuk
kecerdasan moral pada anak perspektif Robert Coles yaitu didapatkan dari sumber
panca indra, akal pikir dan intuisi pada anak, adapun prosesnya sebagai
berikut:
1)
Stimulasi dalam kandungan
Pada awal kehidupannya, seorang anak
dibentuk oleh nilai-nilai orang dewasa. Stimulasi untuk anak pada masa dalam
kandungan sangatlah penting bagi pertumbuhan dan perkembangan anak terutama
dalam hal ini yaitu perkembangan kecerdasan moral anak. pada masa anak masih di
dalam kandungan, orang tua sudah mengungkapkan nilai-nilai mereka dengan cara
yang akan mmpengaruhi perkembangan kecerdasan moral anak. seperti hasil paparan
Robert Coles sebagai berikut:
“Seoraang perempuan berusaha memikirkan
orang lain, bukan hanya dirinya sendiri, sehingga ia berhati-hati pada apa yang
akan ia makan atau ia minum, menjauhi rokok, mengunjungi dokter kandungan
secara teratur. Semuanya ia lakukan bukan karena ia prihatin terhadapdirinya
sendiri, melainkan juga karena memikirkan calon anaknya. Seorang laki-laki
memperhatikan perempuan yang mengandung anaknya, yang juga anak istrinya,
mengunjungi dokter bersama istrinya, memberikannya hiburan, peneguhan, kasih
sayang sebagai orang yang sangat terlibat dengan suatu peristiwa penting:
kehamilan yang dipikirkan oleh dua orang, perhatian bagi orang ketiga yang
segera akan datang. Sikap penuh kassih sayang ini yang dihayato setiap hari
berakibat langsung pada janin yang sedang tumbuh: saat paling awal dalam
kehidupannya ketika hukum emas secara menentukan akan mempengaruhi kehidupannya.”[38]
Selanjutnya
Robert Coles menerangkn bahwa orang yang segera akan menjdi ibu, yang
betul-betul memikirkan kehamilannya, yang berusaha melakukan “hal yang benar”
tentu saja selain didorong oleh pengetahuan medis, juga karena keyakinan moril,
“saya menghargai anak yang sedang saya kandung nii, dan saya menilai diri saya
sebagai orang yang segera akan menjadi ibunya, dan sebagai akibatnya saaya akan
berhati-hati (secara meedis, fisik, tetapi sekali lagi secara tersirat dalam
hal moral juga) mengamati bagaimana saya hidup, apa yang harus saya lakukan.”[39]
Kita tahu bahwa bayi yang diperlakuka
kasar dan tidak diperhatikan akan menjadi apatis dan menarik diri dari dunia
yang mereka tahu tidak mempedulikan mereka, bahkan mengancam mereka. Anak lain
yang diabaikan dengan tidak begitu kasar, menjadi penakut, memilih cara sendiri
menanggapi lingkungan yang gagal meyakinkan mereka secara berarti dan mereka menjadi mudah
marah, resah, banyak menuntut seoalah-olah mereka belajar bahwa mereka berada
dalam bahaya dan karenanya harus berpegang erat-erat pada kehidupan yang
berharga, menegaskan terus klaim mereka terhadap dunia kehidupan orang dewasa
sehingga kebaikan hatinya cukup jelas untuk menentukan nasib mereka
sehati-hari.[40]
Sehingga dapat dikatakan bahwa setimulasi
moral dapat dibentuk sejak dalam kandungan dengan memberikan stimulasi berupa
perhatian, kasih sayang dan bagi seorang ibu harus bersikap dan bertingkah laku
yang baik sebagai rangsangan yang diterima ketika masih dalam kandungan.
2)
Keteladanan atau percontohan
Keteladanan atau percontohan orang
dewasa pada anak-anak menjadi salah satu cara bagaimana menumbuhkan kecerdasan
moral anak dengan cara memberikan contoh bertingkah laku dengan baik sesuai
dengan aturan yang berlaku di masyarakat. menurut Robert Coles dalam buku
menumbuhkan kecerdasan moral pada anak yang berkaitan dengan ketauladanan orang
dewasa yaitu menekankan ajaran moral yang paling meyakinkan yang dapat kita
lakukan sebagai orang dewasa adalah dengan percontohan, dikarenakan bahwa anak
merupakan saksi kehidupan kita, dan anak melihat cara kita bersikap dengan
orang lain, dan cara sikap berbicara kita kepada mereka dan bergaul dengan
mereka, semua itu akan ditangkap secara perlahan-lahan dan simulatif oleh
anak-anak kita, murid-murid kita.[41]
Beliau juga menambahkan penguat mengenai
orang dewasa selaku manusia yang dicontoh dan diperhatikan oleh anak yaitu “
bila anda menunjukkan perhatian dan keprihatinan kepada anak anda, bila anda
mengerjakannya bahwa anda betul-betul mendampinginya dan anda menginginkan yang
terbaik baginya, sekaku, ia akan belajar untuk menanggapi dan ia akan mengikuti
nasihaht anda dan mengikuti contoh anda, sebab ia berhubungan dangan anda
secara mantap.[42]
Sehingga dapat disimpulkan bahwa peran
orang dewasa sebagai figur anak-anak perlu memberikan contoh moral yang baik
dikarenakan anak-anak dalam perkembangannya dalam hal ini kecerdasan moral
berupa imitasi dari orang dewasa.
3)
Pembiasaan
Mengawali pembahasan tentang pembiasaan
dalam membentuk kecerdasan moral anak, Robert Coles mengatakan bahwa “saya
pikir, kita sudah mulai mengirimkan sinyal-sinyal kepada anak sejak hari pertama
mereka lahir” sinyal tersebut memiliki arti “isyarat yang sadar”. Isyarat dan
sadar ini maksutnya “saya berusaha mengatakan kepada anak laki-laki saya sejak
awal bahwasanya saya ingin ia merasa diinginkan dan merasa bebas untuk tumbuh,
tetapi saya tidak ingin ia berfikir bahwa ia sangat tinggi nilainya dan angat
berkuasa sehingga ia boleh saja menabrak saya dan menabrak ayahnya atau
menabrak kami.” Kalau kita membiarkan
seorang anak menganggap dirinya penting, penting sekali dan saya ingin agar
anak saya memikirkan orang lain, bukan hanya dirinya sendiri.[43]
Maka dari itu pembiasaan ini dapat di
lakukan sejak pada tahun-tahun pertama seperti halnya dalam pengalaman Robert
Coles dalam buku menummbuhkan kecerdasan moral pada anak yaitu” oke oke kamu
sudah banyak menyusu, memndapat semua yang kamu butuhkan, kamu harus belajar
bahwa dunia tidak seluruhnya berputar di sekeliling dirimu. Kamu harus beajar
bahwa ada orang lain dan bahwa mereka harus hidup, persisi seperti kamuhidup
dan dengan demikian menangislah sebentar saja lalu tidurlah”[44]
hal ini menunjukkan bahwasanya pembiasaaan sudah dapat di awali sejak tahun
pertama anak dengan memberikan aturan dan membiasakan untuk semua tidak semua
keinginan anak dituruti.
Selain itu, contoh lain dari pembiasaan
dalam kajian Robert Coles memberikan contoh pada bagian “kerja sama awal”.
Dalam bagian ini dipaparkan contoh sebagai berikut: “ sebaagian di antara kita
tak punya waktu untuk mengubah setiap saat dengan anak-anak kita menjadi sebuah
seimar. Saya berdiri dekat perapian, saya terlambat menyiapkan makan malam,
anak saaya membuat saya capek denan segala kegiatannya, kegiayan yang tak
habis-habis dan satu-satunya yang saya inginkan hanyalah supaya dia tenang dan
enghabiskan makan malamnya, sementara saya masak makan mala jami, makan malam
suami dan saya. Tetapi tidak, dia berniat untuk embuat heboh. Oh saya tahu dia
tidak berfikir begitu. Dia sekedar menjadi anak normal berumur satu setengah
tahun. Yah saya sekedar menjadi seoran ibu yang normal yang bekerja dan
kelelahan dan saya ingin sedikit kerjasama. Itulah yang saya katakan. Anak saya
barangkali tidak mampu memberi anda definisi kamus mengengai kata itu, tetapi
ia tahu apa maksudnya: maksudnya adalah hentikan apa yang sedang kamu lakukan.
Amaksutnya berhentilah, artinya kamu tak mungkin mendesak saya satu millimeter
lagi, artinya tidak tidak! Bila di mendengar saya berkata “bekerja samalah” dia
akan berhenti berbicara dan berhenti bergerak. Dia pergi ke meja dan duduk.” [45]
Dari cerita ini bahwasanya anak
dibiasakan untuk dapat bekerjasama dengan orang dewasa dengan baik sehingga
tidak melakukan sesuai dengan keinginannya sendiri dan orangtua harus
memberikan aturan dan pembiasaan yang baik. Selain itu anak diajarkan dan
dibasakan untuk mampu memahami orang lain dan tidak mementingkan dirinya sendiri, walaupau tahap
memahami oranglain masih dalam tahapan pebiasaan saja.
Penjelasan metode pembiasaan pada anak
usia lima tahun ketika berangkat ke sekolah. Dalam pembahasan “ jemputan sekola
sebagai permulaan :pertanyaan mengapa seorang anak”.pembiasaan ini dilakukan
oleh ibu jeanie yang membiasakan anak untuk berangkat sekolah dengan mobil
jemputan bukan mobil pribadi. jeanie bertanya pada ibunya, “mengapa ibu tidak
mengantar aku ke sekolah denan mobil saja?, saya berkata karena akan jadi banyak
sekali mobil disitu, terlalu banyak kalau semua ibu-ibu mengantar kan
anak-anaknya dengan mmobil. Tetapi jeanie berkata bahwa semua ibu kan juga
pergi ke supermarket atau taman kanak-akanan, ke oawai, taman ria, dan bioskop
dan jalannya cukup besar untuk menampung lalu lintas itu. Tetapi saya berusaha
tidak keluar jalur, jadi saya hanya berkata, “bagaimana biasanya orang
melakukannya, jeanie. Seiap orang pergi ke sekolah naik jemputan, tetapi ia
terus bertanyadan saya tetap berkata tidak.[46]
Dari penglaman anaknya tersebut, bahwasanya
si ibu memberikan pembiasaan untuk membiasakan anak belajar tentang menghargai
orang lain dan sebab akibat yang benar. Hal ini akan membentuk kecerdasan moral
pada anak.
4)
Pola asuh
a)
Demokrasi
Demokrasi
dalam pola asuh anak sebagai bentuk pengasuhan untuk mengarahkan dengan
ditandai pengakuan orang tua terhadap
kemampuan anak-anaknya, dan kemudian anak diberi kesempatan untuk tidak selalu
tergantung kepada orang tua serta adanya komunikasi dua arah untuk mendapatkan
kesimpulan yang baik dan benar. Dalam menumbuhkan kecerdasan moral pada anak,
salah satu contoh yang dapat dilihat pengasuhan demokrasi yaitu sebagai berikut: “sekarang anak kecil yang
melempar botol itu dapat diberi tahu agar jangan melakukannya dan dapat juga
ditanya mengapa. Dan disamping itu seorang ibu dapat menjelaskan
alasan-alasanya mengatakanjangan. Oleh karena itu dalam bahasa uncullah
kemungkinan-kemungkinan peluang peluang dan tanggung jawab sehingga muncullah
hidup yang kita kenal sebagai makhluk berbicara, manafsirkan, menggagas,
makhluk yang juga meaampu membiasakan untuk melakukan penelitian batin moral.”[47]
b)
Liberal
Pola asuh liberal yaitu orang tua
mendidik anak secara bebas, anak dianggap seperti orang dewasa dan ia diberi
kelonggaran seluas-luasnya apa saja yang dikehendaki. Dalam hal pembentukan
kecerdasan moral pada anak, penggunaan pola asuh liberal yang membebaskan anak
dalam menentukan pillihan mana yang baik dan buruk serta yang benar dan tidak.
Bimbingan orang dewasa (orangtua) sangatlah perlu dan tidak semata-mata
membebaskan dikarenakan membentuk kecerdasan moral anak dibentuk karena bantuan
orang dewasa bukan anak-anak usia pra sekolah mencarinya dengan sendiri atau
bebas tanpa bantuan orang dewasa.
c)
Otoriter
pola asuh yang ditandai dengan cara
mengasuh anak-anaknya dengan aturan-aturan, dan melakukan sesuatu sama seperti
apa yang diinginkan orang tua dan kebebasan
untuk bertindak atas nama diri sendiri dibatasi. Dalam kajian ini dijelaskan
enurut robert coles yaitu” kita orang tua pada bulan-bulan pertama kehidupan,
kita harus menentukan batasan-batasan bagi anak kita sendiri bahwa kita
mengatakan jangan maupun tidak, bahwa kita terlibat dan campur tangan maupun
membiarkan segala sesuatunya terjadi atau kita engabaikannya, lalu kita memang
bertindak sebagi guru, tetap tidak menyajikan pelajaran-pelajaran enganai sifat
acuh tak acuh, tidak memperhatikan atau tidak peduli atau apati, dan pada
akhirnya pelajaran-pelajaran yang memberikan kebingungan moral”[48]
5)
Reward
Pemberian hadiah terkadang dapat
membantu anak untuk mengikuti perintah orang dewasa terutama dalam hal ini
yaitu berkaitan dengan moral. Banyak orang tua memiliki teknik dan cara
tersendiri untuk membentuk moral pada anak. salah satu contoh ibu-ibu yang memilik
segi psikologi untuk membentuk kecerdasan moral anak, yaitu“seorang ibu mengatakan
bahwa berbicara tentang memberi hadiah anak-anaknya dengan pujian sebagai
sarana untuk enertibkan mereka, meilih titik-titik kuat mereka untuk disetujui
bahlan diberi pujian”.[49]
Dalam pembentukan ini sering kali
tingkah laku anak mengalami kemunduran, tingkah laku yang keliru dan bagaimana
menangani mereka. Hal ini Robert Coles memberikan sebuah pendapat bahwasanya
sebagai orang dewasa atau orangtua harus kembali kepada keyakinan bahwa
bagaimana, dengan cara yang beraneka ragam dan kata ya dan tidak yang diberikan
oleh orang tua sangat berarti bagi anak-anak, bahkan sekali mereka mempelajari
makna kedua itu (tidak), mereka telah betul-betul secara definsif memulai
pendidikan moral mereka. Perjalanan mereka sebagai makhluk manusia yang
memilliki kemampuan untuk memilih, meskipun masih coba-coba dan asih goyah,
bagi para pemula untuk memilih saat-saat tak terbilang banyak untuk menentukan
ini atau itu yang belum membentuk kehidupan moral kita. Menggunakan kata ya dan
tidak, beliau mengingatkan tentang kisaran tanggapan-tanggapan mereka
berbeda-beda namuns emuanya pantas dipertimbangkan.[50]
6)
Kebutuhan kasih sayang
Perkembangan seorang anak sebagai dasar
kehidupan anak selanjutnya, peran orang tua sangatlah penting untuk
mengoptimalkan perkembangan anak. dalam tingkatan perkembangan moral, anak
mampu cerdas memilih mana yang baik dan mana yang buruk. Dalam pembentukan
kecerdasan moral ini, kebutuhan kasih sayang sangatlah penting guna tercapaiya
moral yang baik bagi anak.
Robert Coles mengatakan bahwa orang tua
punya sebuah peluang untuk mengajar bahkan bayi yang belum satu tahun, dan
tentu saja bayi yang sudah dua atau tiga tahun, bagaimana berhasil menguasai
naluri-naluri tadi, hasrat-hasrat dan keinginan tadi, saat-saat kecewa dan frustasi
yang merupakan bagian kasih, bagian hidup. Sebuah bayi beruntung memilliki orang
tua yang memperlihatkan kasih kepada mereka dan yang membalas mengasihi, tetapi
tidak menjadi budak-budak seolah-olah bagi tuntutan-tuntutan anak mereka
ataupun hasrat gugup mereka sendiri yang wajar bagi semua orang di antara kita,
untuk memberi sebanyak yang kita miliki dan sesering mungkin kepada anak
laki-laki maupun perempuan.[51]
Dari ungkapan tersebut bahwasanya kasih sayang sangatlah penting kasih sayang
orangtua ke anak untuk menumbuhkan kehangatan dan mengarahkan anak dalam
tingktan moral yang tepat.
Akan tetapi seringkali orangtua
berlebih-lebihan dalam memberikan kasih sayang pada anak. beliau Robert Coles
menambahkan bahwa orang tua kurang yakin mengenai dirinya sendiri atau tidak
memiliki pengendalian diri dn dengan demikian membiarkan perhatian serta kasih
sayang merosot (dari yang sesuai menjadi tidak sesuai) dan menjadi suatu pemanjaan yang dapat
membingungkan anak.[52]
7)
Pembelajaran Langsung Atau Direct
Learning
Tanpa disadari anak membentuk
moralitasnya dengan caranya masing-masing, salah satunya dengan
mengasimilasikan pengatuan yang sudah didapatnya dengan pengetahuan yang baru.
Pada kajian bab “visi teleskopik visi moral” seorang anak yang berumur 6 tahun
memiliki kegemaran bermain telesskop. Dengan teleskop tersebut anak dapat
mengamati pergerakan benda-benda di luar angkasa dan mengetahui
gejala-gejalanya seperti bintang-bintang.
Anak usia 6 tahun berkata pada Robert
Coles sebagai berikut “ bintang-bintang itu bergerak dengan cepat bahkan bila
kelihatannya tidak bergerak satu senti pun” saya pun mengangguk. Kemudia ia
memutuskan bahwa saya perlu tahu lebih
banyak. Seorang sahabat saya mengatakan pada saya bahwasanya Tuhan menajga
bintang-bintang itu agar tidak bertabrakan satu sama lain, tetapi saya katakan
kepadanya, tidak, Tuhan tidak seperti itu, ia memberikan segala sesuatu dan
kemudian sesuatu itu berdiri sendiri dan manusia juga. Disekolah minggu pagi mereka berkataitu terserah kita apakah kita
akan menjadi baik atau jahat dan seperti itulah hal nya dengan bintang-bintang,
mereka terus menerus bergerak dan bila mereka keluar dari jalur, hal itu karena
ada sesuatu yang tidak beres itu kecelakaan,
itu bukan tuhan mengantuk atau marah”.[53]
Kemuadian pada percakapan selanjutnya
tentang anak menggabungkan pengetahuan yang dimilikinya ketika menggunakan
teleskopik unuk melihat luar angkasa dengan informasi dari berita. “ ia mmberi
tahu saya tanpa saya minta, saya mendengar pemacaaan berita mengatakan bahwa
ada bahan beracun masuk ke udara. Kecelakaan nuklir Charnoblyl baru saja
berlangsung minggu lalu. Kalau manusia tidak mempelajari hal yang benar untuk
dikerjakan, mereka dapat mencelakakan siapa saja, dan tindakan itu akan
menghancurkan bumi.”[54] Hal ini menunjukkan dari apa yang anak
pelajari tentang luar angkasa dan berita yang ia dapatkan, kecerdasan moral
anak akan tumbuh dan kepekaan untuk bertingkah laku yang baik juga akan
mengikuti dengan seiringnya pembelajaran dan eksperimen yang anak lakukan
sendiri.
c.
Aksiologi
Aksiologi atau yang sering dikenl dengan
kajian mengenai value atau nilai tentang sesuatu. Nilai tidak akan
timbul dengan sendirinya, nilai timbul karena manusia mempunyai bahasa yang
digunakan dalam pergaulan sehari-hari. Jadi masyarakat menjadi wadah timbulnya
nilai. Dikatakan mempunyai nilai, apabila berguna, benar (logis), bermoral,
etis dan ada nilai religius.[55]
Dalam kajian ini, aksiologi tidak terlepas dari cabang utama yaitu etika(apa
yang harus dilakukan dalam kehidupan ini) dan estetika (kepekaan terhadap
lingkungan sekitar).
Robert Coles mengatakan bahwa pada usia
tiga atau empat tahun seorang anak telah belajar membantu dunia dengan
cara-cara penting, telah belajar merawat dirinya sendiri, mengendalikan dirinya
sendiri, makan sendiri. Dan dengan perhatian serta pertimbangan yang memadai
bagi apa yang oleh orang lain di sebut sopan santun, ia telah belajar berbicara
secara jelas dan dengan rasa hormat sepantasnya bagi orang lain, tanpa itu
mustahil berlangsung percakapan dua arah yang lama. Semua itu butuh pembentukan
selama bertahun-tahun memiliki kaitan dengan perkembangan watak yang tak
disadari, yang hasilnya adalah seorang anak yang telah belajar untuk menaati
peraturan-peraturan rumahnya, untuk berlaku sopan baik di rumah maupun di
lingkungan tetangganya.[56]
Aksiologi atau nilai pada anak dalam hal
kecerdasan moral, yaitu anak mampu memahami mana yang benar dan mana yang salah
dan bagaimana mengatur dirinya sendiri untuk berbuat atau bertingkahlaku yang
benar dan baik, pada kajian ini seperti tidak mementingkan diri sendiri, tidak
mudah marah, tidak posesif, tidak suka mengeluh, tidak mengamuk, tidak mudah
murung dan menaruh rasa curiga, dapat memahami orang lain dan mengucapkan kata
yang baikk seperti “terimakasih” dan lain sebagainya.
Robert Coles selanjutnya menerangkan
masalah benar dan salah, baik dan buruk sewaktu masalah iu timbul di mana saja,
di setiap tempat dalam kehidupan kita. Seorang anak laki-laki yang tampaknya
dibelokkan oleh kecemburuan intelektual (dan saya duga oleh kecenderungan
emosional) dari masalah-masalah planet ini menggeluti suatu minat tetap
terhadap planet-planet lain ternyata berminat untuk menangani pernyataan-pernyataan
paling bea=sar yang menghinggapi kita semua yang tinggal di bumi yaitu
bagaimana bertingkahlaku kita daat mempengaruhi kodrati eksistensi itu sendiri,
kodrati kehidupan sebagaimana ada di sini.”[57]
C.
Implementasi Pendidikan
Moral Pada Lembaga PAUD
Implementasi bagaimana menumbuhkan
kecerdasan moral pada anak usia dini dari usia 4-6 tahun yang berada pada
jenjang pendidikan formal taman kanak-kanak. Anak usia dini dalam menerima dan
menyerap tingkahlaku dari imitasi pada orang dewasa dikarenakan dalam tahapan
proses pencarian pengetahuan bersifat figuratif. Maka dari itu, implementasi
menumbuhkan kecerdasan moral anak tidak terlepas dari peranan pendidik (memberi
contoh dan membiasakan), model pembelajaran yang sesuai (area, BCCT) sebagai
pengoptimalan perkembangan anak terutama moral, selain itu kurikulum yang
dibuat juga dapat membantu dalam menumbuhkan kecerdasan moral anak, dan
pemberian perhatian kasih sayang pada anak untuk menciptakan rasa hangat seperti di rumah
sehingga anak merasa nyaman dan merasa
senang dan dianggap keberadaannya
Peran pendidik yang baik dan benar yaitu
mengetahui karakteristik dan tumbuh kembang anak sehingga dapan mengoptimalkan
perkembangan dan menjadikan anak cerdas seacara moral dengan tanpa paksaan dan
tekanan. selalu membiasakan perilaku
yang benar dan memberi contoh yang baik dan benar serta.
Pada tahapan figuratif ini, peran guru
sangat penting untuk menumbuhkan kecerdasan moral anak dengan melalui
percontohan, keteladanan yang baik dan benar setiap hari baik dalam kelas
maupun diluar kelas. Sumber pengetahuan yang bersumber dari akal pikir dan
intuisi dalam penerapan di pendidikan anak usia dini dapat dilakukan dengan
menggunakan metode bercerita, seperti cerita para nabi, sahabat nabi dan cerita
yang memiliki moral yang baik.
DAFTAR PUSTAKA
Coles, Robert.
2000. Menumbuhkan Kecerdasan Moral Pada Anak terjemahan T. Hermaya. Gramedia: Jakarta
Syam, Mohammad Noor. 1986. Filsafat
Kependidikan Dan Dasar Filsafat Kependidikan Pancasila. Surabaya:Usaha
Nasional.
Widodo, Sembodo Ardi. 2009. Filsafat
Wacana Pendidikan Kontemporer. Yogyakarta:Pustaka Felicha.
George R. Knight. 2007. Filsafat
Pendidikan terjemahan Maahmud Arif. Yogyakarta: Gama Media
Jalaludin dan Abdullah Idi. 2012. Filsafat Pendidikan. Jogjakarta:Ar-Ruz
Media.
Poeswardojo, Soerjanto. 2016. Filsafat
Ilmu Pengetahuan. Jakarta:Gramedia.
Jujun S. Suriasumantr. 2012Ilmu
Dalam Perspektif. Jakarta: Yayasan Pustaka obor Indonesia.
https://id.wikiquote.org/wiki/Guru_kencing_berdiri,_murid_kencing_berlari, https://en.wikipedia.org/wiki/Robert_Coles
[7] [7]
George R. Knight. Filsafat Pendidikan terjemahan Mahmud Arif,
(Yogyakarta: Gama Media, 2007), hlm.15
[34] https://id.wikiquote.org/wiki/Guru_kencing_berdiri,_murid_kencing_berlari,
diakses tanggal 5 Desember 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar