Minggu, 15 April 2018

pendekatan normatif dan historis studi islam


A.    Pendekatan normatif Studi Islam
       Pendekatan normatif adalah studi Islam yang memandang masalah dari sudut legal-formal dan/atau normatifnya. Maksud legal-formal adalah hubungannya dengan halal dan haram, boleh atau tidak, dan sejenisnya. Sementara normatif adalah seluruh ajaran yang terkandung dalam nash. Dengan demikian, pendekatan normati mempunyai cakupan yang sangat luas. Sebab seluruh pendekatan yang digunakan oleh ahli usul fikih (usuliyibn) , ahli hukum Islam (fuqaha), ahli tafsir (muassirin), dan ahli hadits (muhaddithin) yang berusaha menggali aspek legal-formal dan ajaran Islam dari sumbernya adalah termasuk pendekatan normatif. Ada juga yang menggunakan pendekatan juridis dan membedakannya dengan normatif,.[1]
Pendekatan normatif sering juga disebut pendekatan doktriner. Maksud pendekatan ini adalah melakukan studi filsafat pendidikan Islam dengan jalan membangun, meramu, dan memformulasi sebuah pemikiran dalam filsafat pendidikan Islam dengan jalan mencari dasar-dasar doktrinal- teologisnya dari wahyu al-qur’an atau as sunnah.[2]
Karakter yang ada dalam pendekatan teologis normatif mengacu pada klaim agama tertentu, munculnya sikap royan pada kelompok sendiri, dan biasanya menggunakan bahasa subjektif berdasarkan pada karakter ini maka pendekata teologis normatif lebih tekstual , selalu menampakkan sifatnya yang apologis dan deduktif. Lebih tertutup, tidak ada dialog, parsial, saling menyalahkan dan mengkafirkan, yang justru akan menyebabkan tidak adanya kerjasama dan kepedulian sosial. Aktualisasi lebih dalam adanya pendekatan ini unculnya aliran dalam Islam, praktik ritualistik madzhab, prototipe pemikiran Islam, dan lain-lain.[3]
Pendekatan normatif yaitu suatu pendekatan yang memandang agama dari segi ajarannya yang pokok dan asli dari tuhan  yang didalamnya belum terdapat penalaran pemikiran manusia.  Dalam pendekatan teologis ini agama dilihat sebagai suatu kebenaran mutlak dari Tuhan , tidak ada kekurangan sedikitpun dan tampak bersifat ideal. Dalam kasus ini agama tampil dengan sangat prima dengan seperangkat cirinya yang khas. Untuk agama islam misalnya, secara normatif pasti benar, menjunjung nilai-nilai luhur. Untuk bidang sosial agama tampil meawarkan nilai-nilaikemanusiaan , kebenaran, kesetiakawanan, tolong menolong, tenggang rasa, penamaan derajat dan sebagainay. Untuk bidang ekonomia agama tampil menawarkan keadilan , kebersamaan, kejujuran, dan saling mengutungkan. Untuk bidang ilmu pendidikan, ahama tampil mendorong pemeluknya agar memiliki ilmu pengetahuan dan teknologi yang setinggi-tingginya, menguasai keterampilan, keahlian dan sebagainya. Demikian pula untuk bidang kesehatan, lingkungan hidup kebudayaan, politik, dan sebagainya agama tampil sangat ideal dan yang diubungkan berdasarkan dalil-dalil yang terdapat dalam ajaran agama yang bersangkutan.[4]
Dalam pembahasan tentang pendekatan normative atau  Pendekatan Religious (normative or religious approach), ada dua hal yang perlu digaris bawahi. Pertama, pendekatan ini terbagi kepada tiga pendekatan yang lebih rinci, masing-masing mempunyai karakteristik sendiri. Pendekatan Misonaris Tradisional lebih merupakan sikap Barat dan Kristen yang menekankan akan kebenaran Kristen. Pendekatan Apologenik merupakan respon terhadap pendekatan pertama yang ada pada intinya berusaha menunjukkan kehebatan islam dibandingkan dengan agama-agama lain terutama Kristen dan juga peradaban Barat.  Sedangkan pendekatan Simpatih mencoba menjembatani kedua pendekatan sebelumnya, dengan membangun saling pengertian dan sikap saling simpatih dan saling percaya antara penganut agama yang berbeda. Kedua, walaupun terdapat perbedaan-perbedaan pada ketiga model  pendekatan tersebut, namun ketiganya diikat dengan satu hal yang secara fundamenta sama : melihat islam (juga agama lain) berdasarkan kerangka berfikir teologis dan religius , dan inilah yang menjadi karakteristik pokok dalam pendekatan Normatif dan Religius, yang sekaligus membedakannya dengan pendekatan-pendekatan lain.[5]
Tapi ada satu hal yang perlu digaris bawahi pada bagian akhir ini terutama karakteristik yang amat berbeda dari pemikiran  Wilfreed Cantwell Smith dibandingkan denha para pemikir lainnya dalam pendekatan nnormatif dan religius tetrsebut. Bagi Smith, norma ajaran islam (agama  pada umumnya) itu amat penting untuk dipahami , dan norma tersebut perlu dikaji bukan untuk saling menjatuhkan pihak atau agama lain tetapi justru harus menjadi pondasi yang kuat untuk memmbuka diaolog dengan pihak yang lain. Dengan kata lain, seseorang bisa menghargai pengikut agama lain tanpa kehilangan identitas agama yang dianutnya. Melalui studi perbandingan agama dengan pendekatan sejarah yang ia gunakan, Smith telah meletakkan dasar fundamental dalam studi islam dan agama pada umumnya yang berkembang pada masa-masa berikutnya yang dalam perkembangan selanjutya dikenal dengan studi ilmiah tentang agama (scientiffic study of religion atau scientific approach to religion).[6]

Sisi lain dengan pendekatan normatif adalah bahwa secara umum ada dua teori yang dapat digunakan dengan pendekatan normatif-teologis. Pertama, ada hal-hal yang untuk mengetahui kebenarannya dapat dibuktikan secara empirik dan eksperimental. Kedua, ada hal-hal yang sulit dibuktikan secara empiris dan eksperimental. Untuk hal-hal yang dapat dibuktikan secara empirik biasanya disebut masalah yang berhubungan dengan ra’yi (penalaran). Sedang masalah yang tidak berhubungan dengan emprik (ghaib) biasanya diusahakan pembuktianyya dengan mendahulukan kepercayaan. Hanya saja cukup sulit untuk menentuan hal-hal apa saja yang masuk klasifikasi empirik dan mana yang tidak terjadi perbedaan penndapat dikalangan para ahli. Maka sikap yang perlu dilakukan dengan pendekatan normatif adalah sikap kritis.[7]
Ada beberapa teori popular yang dapat digunakan dengan pendekatan normatif, disamping teori-teori yang digunakan para fuqaha’ , usuliyin, muhaddithin, dan mufassirin, diantaranya adalah teori teologis-filosofis, yaitu pendekatan memahami al-qur’an dengan cara menginterpretasikannya secara logis-filosofi, yakni mencari nilai-nilai objektif dari subjektifitas al-qur’an.
Masih hubungannya dengan memahami nash, khususnya nash al-qur’an , muhammad ’izzat darwaza, seperti dikutip poonawala, al-qur’a berisi dua hal pokok, yaitu :
1.      Prinsip fundamental (usul), dan
2.      Alat/sebagai penghubung untuk mencapai prinsip-prinsip fundamental tersebut.
       Prinsip-prinsip tersebut penting karena di dalamnya mengandung tujuan wahyu dan dakwah nabi.  Hal-hal yang masuk prinsip adalah menyembah allah dan harus menyediakan kode etik (norma) yang lengkp (komprehensi) tentang tindakan tindakan (syariah). Sisanya, seperti janji allah yang akan membalas perbuatan baik di akhirat dan akan menyiksa orang jahat, sejarah nabi dan semacamnya adalah alat penghubung. [8]

       Untuk mengantisipasi tentang adanya pengkafiran antar sesama Islam, maka perlu adanya adanya landasan normatif pendidikan agama Islam multikultural. Yang mana dapat dijadikan sebagai inspirasi pendidikan di era multikultural tersebut. Pendidikan multikultural merupakan strategi pebelajaran yang menjadikan latarbelakang budaya siswa bermacam-macam digunakan sebagai ulasan untuk meningkatkan pembelajaran siswa di  kelas dan lingkungan sekolah. Adapun landasan normatif pendidikan Islam multikultural yaitu kesatuan dalam aspek ketuhanan dan pesan-Nya (wahyu), kesatuan kenabian, tidak ada paksaan dalam beragama dan pengakuan terhadap eksisteni agama lain. Semua yang demikian itu disebut normatif karena sudah merupakan ketetapan Tuhan, masing-masing klasifikasi didukung oleh teks (wahyu) walaupun kendati satu ayat dapat saja memberfungsi untuk justifikasi yang lain. [9]
Contoh : surat al maidah ayat 51

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَتَّخِذُواْ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاء بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاء بَعْضٍ وَمَن يَتَوَلَّهُم مِّنكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللّهَ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ ﴿٥١﴾               Artinya :
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin (mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.

Dari ayat tersebut maka akan menimbulkan permasalahan antar manusia (makhluk Tuhan) sehingga dalam bersosial akan menimbulkan kerengagan antar umat beragama. Dari spek ketuhanan, pendidikan Islam mendasarkan pandangannya dari al-qur’an surat An-Nisa 131 yaitu:[10]
وَللّهِ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الأَرْضِ وَلَقَدْ وَصَّيْنَا الَّذِينَ أُوتُواْ الْكِتَابَ مِن قَبْلِكُمْ وَإِيَّاكُمْ أَنِ اتَّقُواْ اللّهَ وَإِن تَكْفُرُواْ فَإِنَّ لِلّهِ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الأَرْضِ وَكَانَ اللّهُ غَنِيّاً حَمِيداً ﴿١٣١﴾
Artinya :
Dan kepunyaan Allah-lah apa yang di langit dan yang di bumi, dan sungguh Kami telah memerintahkan kepada orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu dan (juga) kepada kamu; bertakwalah kepada Allah. Tetapi jika kamu kafir, maka (ketahuilah), sesungguhnya apa yang di langit dan apa yang di bumi hanyalah kepunyaan Allah dan Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.

       Dikarenakan dalam pandangan Islam yang berkaitan dengan kebebasan menaganut agama didasarkan kepada al-qur’an surat al-Baqoroh ayat 251 yaitu:
Artinya:
Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.

Hubungan pendekatan normatif dan historis seringkali diwarnai dengan ketegangan, baik yang bersifat kreatif maupun deskriptif. Pendekatan normatif di satu sisi merupakan pendekatan yang berpijak pada teks yang tertulis didalam kitab suci masing-masing agama. Sehingga dalam batas-batas tertentu pendekatan ini cenderung bercorak literasi, tekstual atau skripturalis.[11]
Adapun domain atau wilayah menurut Nasr Hamid Abu Zaid terbagi dua untuk Islam normatif yaitu:[12]
1.      Wilayah teks asli Islam (the original text of Islam), yaitu Al-Qur’an dan Sunnah nabi Muhammad yang autentik.
2.      Pemikiran Islam yang merupakan ragam menafsirkan terhadap teks asli Islam (al-qur’an dan sunnah nabi Muhammad, Saw). Dapat ppula disebut hasil ijtihat terhadap teks asli Islam seperti tafsir dan fikih. Dalam kelompok ini dapat ditemukan dalam empat pokok cabang yaitu, hukum/fiqih, teologi, filsafat dan taasawuf/mistik.

B.     Pendekatan Historis Studi Islam      
       Historis dalam bahasa inggris memiliki arti sejarah atau peristiwa, dalam bahasa arab dengan kata asajaratun yang berarti pohon. Historis adalah asal usul, silsilah, kisah, riwayat, dan peristiwa. Historis merupakan suatu ilmu yang didalamnya dibahas berbagai peristiwa dengan memperhatikan unsur tempat, waktu, objek, dan latar belakang peristiwa tersebut. Pendekatan kesejarteraan ini sangat penting dan dibutuhkan dalam memahami  agama, karena agama itu sendiri turun dari situasi yang konkret dan berkaitan dengan kondisi sosial kemasyarakatan.[13] Menurut Hasyim Hasan dalam bukunya pengantar studi Islam ada beberapa unsur dalam memahami agama dari perspektif historis, yaitu peristiwanya (what), pelaku (who), waktu, (when), tempat (where) dan latar belakang (why). Pendekatan historis ini menghendaki adanya pengetahuan, pemahaman dan penguraian ajaran Islam dari sumber dasarnya serta latar belakang masyarakat, budaya, sejarah, politik, ekonomi, dan pendidikan serta lain-lainnya.[14] Pendekatan historis dalam pandangan filsafat pendidikan Islam digunakan dengan cara mengadopsi metode yang digunakan dalam penelitian sejarah Islam. Maksud pendekatan ini adalah bahwa filsafat pendidikan Islam dikaji berdasarkan urutan dan rentang waktu yang terjadi di masa lampau.[15] Sedangkan dalam ilmu hadist, pendekatan secara historis adalam memahami hadist dengan memperhatikan dan mengkaji situasi atau peristiwa sejarah yang terkait dengan latar belakang munculnya hadist.[16]
            Dari pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa pendekatan historis adalah paradigma ilmu dalam mengkaji studi agama dengan melihat peristiwa, pelaku, waktu, tempat dan latar belakang untuk menguraikan dan memberikan pemahaman tentang latar belakang sebuah kajian, dalam hal ini kajian agama Islam.
            Melalui pendekatan sejarah ini seorang diajak untuk memasuki keadaan sebenarnya yang berkenaan dengan penerapan suatu peristiwa. Misalnya seseorang ingin memahami al-quran secara benar maka seseorang harus mempelajari turunnya al-qur’an atau kejadian-kejadian yang mengiringi turunnya al-qur’an atau kejadian-kejadian yang mengiringi turunnya al-qur’an. Contoh pendekatan pada zaman Khalifah Ar-Rosyidin adalah sebagai berikut:[17]
1.      Abu Bakar. Situasi yang membahayakan umat di madinah setelah wafatnya Nabi Muhammad Saw, dan munculnya Abu Bakar sebagai calon yang secara umum diterima, beliau adalah orang Quraisy. Terpilihlah Abu Bakar menunjukkan kesadaran politik yang baik dalam umat dan cepatnya pemilihan itu diselesaikan menunjukkan bukti kuat bahwa mereka bertekat untuk bersatu dan melanjutkan tugas Nabi Muhammad Saw.
2.      Umar Bin Khatab. Tindakan pertama yang dilakukan Umar Bin Khatab adalah mengubah kebijakan Abu Bakar terhadap para mantan pemberontak dalam peperangan Riddah.
                        Pendekatan sejarah sangat dibutuhkan dalam memahami agama karena agama itu turun dalam situasi konkret, bahkan berkaitan dengan kondisi sosial kemasyarakatan.[18] Islam historis atau Islam sebagai produk sejarah adalah Islam yang dipahami dan Islam yang dipraktikkan kaum muslim di seluruh penjuru dunia, mulai dari masa nabi sampai sekarang. Islam yang terbentuk dari sistem sejarah tercermin dari praktik yang dilakukan kaum muslim. Parktik ini muncul dalam berbagai macam dan bentuk sesuai dnegan latar belakang sosial (konteks). Contoh dalam praktik shalat di pakistan yang tidak meletakkan tangan di dada, sementara muslim Indonesia meletakkan tangan di dada. Contoh lain parktik duduk miring ketika tahiyat akhir bagi musllim indonesia, sementara musllim di tempat lain/negara lain tidak melakukannya. Contoh lain di bidang ritual keagamaan, seperti memperingati kelahiran nabi muhammad Saw, juga bermacam-macam di kalangan muslim dan lain sebagainya.[19]
       Amin Abdullah menyampaikan bahwa pemerhati sejarah agama islam sangat memahami kedudukan sentral nabi Muhammad sebagai makhluk historis (yamsuna fi al-aswaq) yang selalu berhadapan dengan beberapa pilihan tata nilai yang bersifat pluralistk. Bahkan jika ditilik secara lebih tajam, ayat-ayat al-qur’an yang mengilhami manusia muslim untuk berperilaku di muka bumi. Hal ini Menurut arkon dalam bukunya amin abdullah bersifat zaman dan makan, yakni selalu melibatkan dimensi historis ruang dan waktu. Asbabbul nuzul (sebab-sebab turunnya al-quran tidak lain dan tidak bukan adalah dimensi historisital al-qur’an, dimana fundamental nilai selalu ada dibelakangnya. Untuk itu faktor “keteladanan” yang bersifat historis-empiris dalam diskursus keberagaman islam pada khusunya memang lebih utama daripada konsepsi teo-filosoffis yang transendental. Disinilah letak sebagian kekuatan etik agama dihadapan etik filosofis tanpa mengurangi  pentingnya etika filosofis dalam dataram kritis.[20] Dalam kapasitasnya sebagai nabi yang mengemban misi fundamental value  dan sebagai makhluk yang bersifat historis, nabi muhammad selalu bermujahadah dan sebagai tauladan yang terbaik.
                        M. Amin Abdullah dalam konteks pendekatan menjelaskan bahwa dalam wacana studi agama, fenomena keberagaman manusia dan studi agama tidak lagi hanya dilihat dari sudut dan semata-mata terkait dengan normalitas ajaran wahyu, namun wacana juga dapat terlihat dari sudut dan terkait dengan historistis pemahaman dan interpretasi orang perorang atau kelompok per kelompok terhadap norma-norma ajaran agama yang mereka peluk, serta model-model amalan dan kritik-kritik ajaran agama yang mereka lakukan dalam kehidupan sehari-hari. Pendekatan historis melihat kitab suci dan fenomena keberagaman tidak melihat cara tekstual, namun dengan sudut pandang keilmuan sosial keagamaan yang bersifat multidimensional, baik secara sosiologis, filosofis, psikologis, historis, kultural maupun antropologis. Pendekatan historis menuduh pendekatan normatif sebagai cenderung bersifat “absolut” sebab pendekatan normatif mengabsolutkan teks yang tertullis, tanpa berusaha memahami lebih dahulu apa sesungguhnya yang melatarbelakangi berbagai teks keagamaan yang ada. Akan tetapi menurut abdullah hubungan kedua pendekatan ini ibarat sebuah koin mata uang dengan dua permukaan, keduanya tidak bisa dipisahkan namun dapat dibedakan secara tegas dan jelas.[21]
                        Pendekatan sejarah ini sangat dibutuhkan dalam memahami agama karena agama itu sendiri turun dalam situasi konkret, bahkan berkaitan dengan kondisi sosial kemasyarakatan. dalam hubungan ini, Kuntowijaya telah melakukan studi yang mendalam terhadap agama yang dalam hal ini Islam menurut pendekatan sejarah ketika ia mempelajari Al Qur’an sampai pada kesimpulan bahwa pada dasarnya kandungan Al Qur’an itu terbagi menjadi dua bagian :[22]
1.      Berisi konsep-konsep
2.      Berisi kisah sejarah dan perumpamaan
Dalam bagian pertama dikenal banyak konsep, baik yang bersifat abstrak maupun konkret. Konsep tentang llah, konsep tenang malaikat, tentang akhrat, fenomena konkret dan dapat diamati (obses uagle). Misalnya konsep tentang orang kafir (uffar), orang lemah (du’afa), kelas tertindas (mastadh’afin), orang zalim (zhalimun), takabur (mustakbirun), dan koruptor. Melalui pendekatn sejarah ini diajarkan untuk memasuki keadaan yang sebenarnya berkenaan dengan penerapan suatu peristiwa, maka seseorang tidak dapat memahami agama keluar dari konteks historis, karena pemahaman demikian ini menyesatkan orang yang memahaminya. Pandangan historis ini adalah suatu pandangan umum tentang pandangan metode pengajaran secara suksesif sejak dari dahulu sampai sekarang dan akan diiringi secara sepintas lalu mengenai problematik metodologi itu.[23]
Menurut penjelasan Charles J. Adams tdalam memahami pendekatan historis, maka secara ringkas dapat dikemukakan dua hal. Pertama, pemahaman islam masa kini dan masa datang bisa dipahami secara baik dengan bekal pemahaman islam masa lalu, masa kini, dan masa mendatang maka  penggunaan pendekatan sejarah merupakan satu keniscayaan.  Pada waktu yang sama, kita memahami islam masa lalu berdasarkan warisan lalu berupa warisan-wrisan tertulis yang terefleksi melalui simbol yang dikenal dengan bahasa, dan karena itu bahasa menjadi satu runtutan dalam sttudi islam (agama pada umumnya). , Kedua, sejarah dan psikologi bagaikan dua wajah  dari satu mata uang yang sama. . Melalui pendekatan sejarah dan psikologi itulah sejumlah karya islam masa lalu dianalisa  dan dipahami kemudian disajikan dalam bentuk karya-karya baru, modern, dan kontemporer yang bisa dinikmati  oleh para pengkaji islam pada masa kini dan juga pada masa-masa berikutnya. Begitulah seterusnya peran pendekatan sejarah dan psikologi. Dengan menggunakan logika yang demikian, saya lebih cenderng menggunakan istilah pendekatan sejarah dan psikologi (historical dan philogical approach) ketimbang pendekatan pilologi dan sejarah (philological and historical  approach ) sebagaimana pemikiran Chrles J. Adams.[24]
Selanjutnya, jika pada bagian yang berisi konsep, al-Qur’an bermaksud membentuk pemahaman yang komprehensif mengenai nilai-nilai Islam, maka pada bagian yang kedua yang berisi kisah dan perumpamaan, al-Qur’an ingin mengajak dilakukannya perenungan untuk memperoleh hikmah. Melalui pendekatan sejarah ini seseorang diajak untuk memasuki keadaan yang sebenarnya berkenaan dengan penerapan suatu peristiwa. Dari sini maka seseorag tidak akan memahami agama keluar dari konteks historisnya. Seseorang yang ingin memahami al-Qur’an secara benar misalnya, yang bersangkutan harus memahami sejarah turunnya al-Qur’an atau kejadian-kejadian yang mengiringi turunnya al-Qur’an yang selanjutnya disebut dengan ilmu asbab al-nuzul yang pada intinya berisi sejarah turunnya ayat al-Qur’an. Dengan ilmu ini seseorang akan dapat mengetahui hikmah yang terkadung dalam suatu ayat yang berkenaan dengan hokum tertentu, dan ditujukan untuk memelihara syari’at dari kekeliruan memahaminya.[25]
Kebenaran al-qur’an dari segi historis telah dibuktan dengan ditemukan jasad fir’aun sebagaimana telah dijanjikan oleh Allah dalam Surah Yunus ayat 90 :
وَجَاوَزْنَا بِبَنِي إِسْرَائِيلَ الْبَحْرَ فَأَتْبَعَهُمْ فِرْعَوْنُ وَجُنُودُهُ بَغْياً وَعَدْواً حَتَّى إِذَا أَدْرَكَهُ الْغَرَقُ قَالَ آمَنتُ أَنَّهُ لا إِلِـهَ إِلاَّ الَّذِي آمَنَتْ بِهِ بَنُو إِسْرَائِيلَ وَأَنَاْ مِنَ الْمُسْلِمِينَ ﴿٩٠﴾
Artinya:
Dan Kami memungkinkan Bani Israil melintasi laut, lalu mereka diikuti oleh Fir`aun dan bala tentaranya, karena hendak menganiaya dan menindas (mereka); hingga bila Fir`aun itu telah hampir tenggelam berkatalah dia: "Saya percaya bahwa tidak ada Tuhan melainkan Tuhan yang dipercayai oleh Bani Israil, dan saya termasuk orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)".
Adapun pendekatan sejarah atau historis dalam memaknai ayat al-qur’an dengan dilihat dari asbabul nuzulnya dan konsep orang dzolim seperti contoh tentang pencuri yaitu surat al-maidah ayat 38.
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُواْ أَيْدِيَهُمَا جَزَاء بِمَا كَسَبَا نَكَالاً مِّنَ اللّهِ وَاللّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ ﴿٣٨﴾
Artinya :
Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana
Dalam memahami ayat tersebut secara tekstual (wahyu), allah memerintahkan bagi seseorang baik laki-laki ataupun perempuan yang melakukan pencurian, maka balasannya potong tangan. Akan tetapi dalam arti penafsiran dan asbabul nuzulnya, secara historis hukumuan potong tangan ketika mencuri ada aturan-aturannya dan ada batas minimal untuk dapat memberi hukuman potong tangan. Adapun batas minimalnya yaitu sebesar 3 dirham murni.
Sejarah membuktikan bahwa pendekatan historis ini berlaku di Indonesia dengan masuknya Islam padaa abad ke-7 M/1 H. Tetapi baru meluas paa abad ke-13 M. Islam masuk ke Indonesia melalui pusat-pusat perdagangan di pantai Sumatera Utara dan melalui urat nadi perdagangan bagian Timur.  Beberapa kerajaan Islam sebagai bukti pendekatan historis ini adalah sebagai berikut.[26]
1.      Kerajaan Samudra Pasai. Menurut catatan sejarah, bahwa  Islam pertama di Indonesia adalah kerajaan Samudra Pasai yang didirikan pada abad ke-10 M, dengan raja pertamanya adalah Al-Malik Ibrahim bin Mahmud. Pada zaman kerajaan ini sudah terjadi hubungan antara Malaka dan Pasai, bahkan Islam berkembangan di Malaka melaluii Kerajaan Samudra Pasai.
2.      Kerjaan Perlak merupakan salah satu kerajaan slam tertua di Indonesia , agama isam mudah sekali bertapak di Perlak tanpa adanya goncangan sosial dengan penduduk pribumi karena Perlak merupakan daerah yang letaknya sangat strategis di Pantai selat Malaka dan bebas dari pengaruh Hindu. Ada beberapa pengeliling dunia yang pernah singgah di Perlak pada tahun 1292 M, adalah Marcopolo seorang berkebangsawanan Italia, dia mengatakan bahwa ibukota Perlak ramai dikunjungi pedagang Islam dari Timur Tengh dan India.
3.      Kerajaan Aceh Darussalam yang diproklamasikan pada 12 Zulqa’idah 916 H (1511 M), kerajaan ini diperintahkan oleh Sultan Mahmud Syah, namun kerajaan ini mengalami kemunduran pada masa kekuasaan Sultas Muzaffar Syah 1055 H (1750 M)
       Melalui pendekatan sejarah seseorang diajak untuk memasuki keadaan yang sebenarnya dengan penerapan sesuatu peristiwa. Dari sini maka seseorang tidak akan memahami agama keluar dari konteks historisnya, karena pemahaman demikian itu akan menyesatkan orang yang memahaminya. Seorang yang ingin emmahami al-qur’an secara benar misalnya, yang bersangkutan arus mempelajari sejarah turunnya al-qur’an atau kejadian-kejadian yang mengiringi turunnya al-qur’an yang selaanjutnya yang disebut asbabul nuzul yang pada intinya berisi sejarah turunnya ayat-ayat al-qur’an. Dengan ilmu tersebut seseorang akan dapat engetahui hikmah yang terkandung dalam suatu ayat yang berkenaan dengan hukum tertentu dan ditujukan untuk memelihara syariat dari kekeliruan memahaminya.[27] Begitu juga dengan memahami islam, islam harus juga dipahami dengan melihat sejarah-sejarah perkembangan islam.

C.    Perbedaan Pendekatan Normatif dan Historis
            Adapun perbedaan antara pendekatan normatif dan historis yaitu sebagai berikut:
No
Pendekatan Normatif
Pendekatan Historis
1.
Kemurnian teks (wahyu)
Produk sejarah
2.
Kajiannya melahirkan tafsir, teologis, fiqih, tasawuf, filsafat
Kajiannya melahirkan studi empiris yaitu: antropologi, sosiologi, psikologi
3.
Normatif-teologis
Historis-empiris
4.
Bercorak literasi, tekstual atau skripturalis
Masa lalu

Seperti dikatakan diatas, menurut Abdullah hubungan kedua pendekatan ini ibarat sebuah koin mata uang dengan dua permukaan, keduanya tidak bisa dipisahkan namun dapat dibedakan secara tegas dan jelas. Maka dari itu semuanya akan saling melengkapi satu sama lain.






                [1] Khoiruddin Nasution, Pengantar Studi Islam, (Yogyakarta: Tazzafa, 2012), hlm. 189
                [2] Toto Suhrato, Filsafat Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Ar—Ruzz, 2006), hlm.  54
                [3] Hasyim Hasanah, Pengantar Studi Islam, ( Yogyakarta: Ombak, 2013), hlm. 79
                [4] Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: Baja Grafindo Persada, 2010), hlm.34
                [5] Akh Minhaji, Sejarah Sosial Dalam Studi Islam (Yogyakarta: Sunan Kalijaga Press, 2013), hlm. 73
                [6] Ibid.,hlm. 74
                [7] Khoiruddin Nasution, Pengantar Studi.., hlm.190
                [8] Ibid., hlm. 191
                [9] Abd. Rachman Assegaf., Alim Ruswantoro, Sumedi, Dkk, Antologi Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Idea Press, 2010), hlm. 168
                [10] Ibid., hlm. 170
                [11] Syarif Hidayatullah, Studi Agama Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Tira Wacana, 2011), hlm. 62
                [12] Khoiruddin Nasution, Pengantar.., hlm. 13
                [13] M.Yatimim Abdullah, Studi Islam Kontemporer, (Jakarta: Amzah, 2006), hlm. 59
                [14] Hasyim Hasan, Pengantar Studi .., hlm. 79
                [15] Toto Suharto,  Filsafat Pendidikan..,, hlm. 55
                [16] Nizar Ali, Memahami Hadis Nabi Metode Dan Pendekatan, (Yogyakarta: Alfah Offset, 2001), hlm 70
                [17] M.Yatimin Abdullah, Studi Islam.., hlm. 59
                [18] Ibid., hlm. 59
                [19] Khoiruddin Nasution, Pengantar Studi .., hlm. 13
                [20] Amin Abdullah, Studi Agama Normatif atau Historis cetakan V, (Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2011), hlm.  64
                [21] Syarif Hidayatullah, Studi Agama Suatu Pengantar.., hlm.  62
                [22] M. Yatimin Abdullah, Studi Islam Kontemporer.., hlm. 60
                [23] Ibid., hlm. 60
                [24] Akh Minhaji, Sejarah Sosial Dalam Studi Islam (Yogyakarta: Sunan Kalijaga Press, 2013), hlm. 78
                [25] Mokh. Fatkhur Rokhzi, Pendekatan Sejarah dalam Studi Islam, Jurnal Vol III No. 1 Maret 2015, http://jurnal.stitnualhikmah.ac.id/index.php/modeling/article/download/49/49/ , diakses pada 18 Oktober2017

                [26] M.Yatimin Abdullah, Studi Islam Kontemporer.., hlm. 61
                [27] Abuddin Nata, Metodologi Studi .., hlm.48

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Strategi Branding Enterpreneur / strategi merek pada pendidikan

Strategi Branding Enterpreneur

  Strategi Branding Enterpreneur Silahkan akses di artikel saya yang terbit di jurnal golden age pendidikan anak usia dini universitas islam...