A.
Pendekatan
normatif Studi Islam
Pendekatan normatif adalah
studi Islam yang memandang masalah dari sudut legal-formal dan/atau normatifnya.
Maksud legal-formal adalah hubungannya dengan halal dan haram, boleh atau
tidak, dan sejenisnya. Sementara normatif adalah seluruh ajaran yang terkandung
dalam nash. Dengan demikian, pendekatan normati mempunyai cakupan yang sangat luas. Sebab seluruh pendekatan yang
digunakan oleh ahli usul fikih (usuliyibn)
, ahli hukum Islam (fuqaha), ahli tafsir (muassirin), dan ahli hadits (muhaddithin) yang
berusaha menggali aspek legal-formal dan ajaran Islam dari sumbernya adalah
termasuk pendekatan normatif. Ada juga yang menggunakan pendekatan juridis dan membedakannya
dengan normatif,.[1]
Pendekatan normatif
sering juga disebut pendekatan doktriner. Maksud pendekatan ini adalah
melakukan studi filsafat pendidikan Islam dengan jalan membangun, meramu, dan
memformulasi sebuah pemikiran dalam filsafat pendidikan Islam dengan jalan
mencari dasar-dasar doktrinal- teologisnya dari wahyu al-qur’an atau as sunnah.[2]
Karakter yang ada
dalam pendekatan teologis normatif mengacu pada klaim agama tertentu, munculnya
sikap royan pada kelompok sendiri, dan biasanya menggunakan bahasa subjektif
berdasarkan pada karakter ini maka pendekata teologis normatif lebih tekstual ,
selalu menampakkan sifatnya yang apologis dan deduktif. Lebih tertutup, tidak
ada dialog, parsial, saling menyalahkan dan mengkafirkan, yang justru akan
menyebabkan tidak adanya kerjasama dan kepedulian sosial. Aktualisasi lebih
dalam adanya pendekatan ini unculnya aliran dalam Islam, praktik ritualistik
madzhab, prototipe pemikiran Islam, dan lain-lain.[3]
Pendekatan normatif
yaitu suatu pendekatan yang memandang agama dari segi ajarannya yang pokok dan
asli dari tuhan yang didalamnya belum
terdapat penalaran pemikiran manusia. Dalam
pendekatan teologis ini agama dilihat sebagai suatu kebenaran mutlak dari Tuhan
, tidak ada kekurangan sedikitpun dan tampak bersifat ideal. Dalam kasus ini
agama tampil dengan sangat prima dengan seperangkat cirinya yang khas. Untuk
agama islam misalnya, secara normatif pasti benar, menjunjung nilai-nilai luhur. Untuk bidang sosial agama
tampil meawarkan nilai-nilaikemanusiaan , kebenaran, kesetiakawanan, tolong
menolong, tenggang rasa, penamaan derajat dan sebagainay. Untuk bidang ekonomia
agama tampil menawarkan keadilan , kebersamaan, kejujuran, dan saling
mengutungkan. Untuk bidang ilmu pendidikan, ahama tampil mendorong pemeluknya
agar memiliki ilmu pengetahuan dan teknologi yang setinggi-tingginya, menguasai
keterampilan, keahlian dan sebagainya. Demikian pula untuk bidang kesehatan,
lingkungan hidup kebudayaan, politik, dan sebagainya agama tampil sangat ideal
dan yang diubungkan berdasarkan dalil-dalil yang terdapat dalam ajaran agama
yang bersangkutan.[4]
Dalam pembahasan tentang
pendekatan normative atau Pendekatan Religious
(normative or religious approach), ada dua hal yang perlu digaris bawahi.
Pertama, pendekatan ini terbagi kepada tiga pendekatan yang lebih rinci,
masing-masing mempunyai karakteristik sendiri. Pendekatan Misonaris Tradisional
lebih merupakan sikap Barat dan Kristen yang menekankan akan kebenaran
Kristen. Pendekatan Apologenik merupakan respon terhadap pendekatan pertama yang ada pada intinya berusaha menunjukkan kehebatan islam dibandingkan dengan agama-agama
lain terutama Kristen dan juga peradaban Barat.
Sedangkan pendekatan
Simpatih mencoba menjembatani kedua pendekatan sebelumnya, dengan membangun
saling pengertian dan sikap saling simpatih dan saling percaya antara penganut
agama yang berbeda. Kedua, walaupun terdapat perbedaan-perbedaan pada ketiga
model pendekatan tersebut, namun
ketiganya diikat dengan satu hal yang secara fundamenta sama : melihat islam
(juga agama lain) berdasarkan kerangka berfikir teologis dan religius , dan
inilah yang menjadi karakteristik pokok dalam pendekatan Normatif dan Religius, yang sekaligus membedakannya dengan
pendekatan-pendekatan lain.[5]
Tapi ada satu hal yang perlu digaris bawahi pada bagian akhir ini
terutama karakteristik yang amat berbeda dari pemikiran Wilfreed Cantwell Smith dibandingkan denha
para pemikir lainnya dalam pendekatan nnormatif dan religius tetrsebut. Bagi
Smith, norma ajaran islam (agama pada
umumnya) itu amat penting untuk dipahami , dan norma tersebut perlu dikaji
bukan untuk saling menjatuhkan pihak atau agama lain tetapi justru harus
menjadi pondasi yang kuat untuk memmbuka diaolog dengan pihak yang lain. Dengan
kata lain, seseorang bisa menghargai pengikut agama lain tanpa kehilangan
identitas agama yang dianutnya. Melalui studi perbandingan agama dengan
pendekatan sejarah yang ia gunakan, Smith telah meletakkan dasar fundamental dalam
studi islam dan agama pada umumnya yang berkembang pada masa-masa berikutnya
yang dalam perkembangan selanjutya dikenal dengan studi ilmiah tentang agama (scientiffic
study of religion atau scientific approach to religion).[6]
Sisi lain dengan pendekatan normatif adalah bahwa secara umum ada dua teori yang dapat
digunakan dengan pendekatan normatif-teologis. Pertama, ada hal-hal yang untuk
mengetahui kebenarannya dapat dibuktikan secara empirik dan eksperimental.
Kedua, ada hal-hal yang sulit dibuktikan secara empiris dan eksperimental.
Untuk hal-hal yang dapat dibuktikan secara empirik biasanya disebut masalah
yang berhubungan dengan ra’yi (penalaran). Sedang masalah yang tidak
berhubungan dengan emprik (ghaib) biasanya diusahakan pembuktianyya dengan
mendahulukan kepercayaan. Hanya saja cukup sulit untuk menentuan hal-hal apa
saja yang masuk klasifikasi empirik dan mana yang tidak terjadi perbedaan penndapat
dikalangan para ahli. Maka sikap yang perlu dilakukan dengan pendekatan normatif adalah sikap kritis.[7]
Ada beberapa teori
popular yang dapat digunakan dengan pendekatan normatif, disamping teori-teori yang digunakan para fuqaha’ , usuliyin, muhaddithin, dan
mufassirin, diantaranya adalah teori teologis-filosofis, yaitu pendekatan
memahami al-qur’an dengan cara menginterpretasikannya secara logis-filosofi,
yakni mencari nilai-nilai objektif dari subjektifitas al-qur’an.
Masih hubungannya
dengan memahami nash, khususnya nash al-qur’an , muhammad ’izzat darwaza,
seperti dikutip poonawala, al-qur’a berisi dua hal pokok, yaitu :
1. Prinsip fundamental
(usul), dan
2. Alat/sebagai
penghubung untuk mencapai prinsip-prinsip fundamental tersebut.
Prinsip-prinsip tersebut penting karena di dalamnya mengandung tujuan
wahyu dan dakwah nabi. Hal-hal yang masuk prinsip adalah menyembah allah dan harus menyediakan kode etik (norma)
yang lengkp (komprehensi) tentang tindakan tindakan (syariah). Sisanya, seperti
janji allah yang akan membalas perbuatan baik di akhirat dan akan menyiksa
orang jahat, sejarah nabi dan semacamnya adalah alat penghubung. [8]
Untuk mengantisipasi tentang adanya pengkafiran
antar sesama Islam, maka perlu adanya adanya landasan normatif pendidikan agama
Islam multikultural. Yang mana dapat dijadikan sebagai inspirasi pendidikan di
era multikultural tersebut. Pendidikan multikultural merupakan strategi
pebelajaran yang menjadikan latarbelakang budaya siswa bermacam-macam digunakan
sebagai ulasan untuk meningkatkan pembelajaran siswa di kelas dan lingkungan sekolah. Adapun landasan
normatif pendidikan Islam multikultural yaitu kesatuan dalam aspek ketuhanan
dan pesan-Nya (wahyu), kesatuan kenabian, tidak ada paksaan dalam beragama dan
pengakuan terhadap eksisteni agama lain. Semua yang demikian itu disebut
normatif karena sudah merupakan ketetapan Tuhan, masing-masing klasifikasi didukung
oleh teks (wahyu) walaupun kendati satu ayat dapat saja memberfungsi untuk
justifikasi yang lain. [9]
Contoh : surat
al maidah ayat 51
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَتَّخِذُواْ
الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاء بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاء بَعْضٍ وَمَن
يَتَوَلَّهُم مِّنكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللّهَ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ
الظَّالِمِينَ ﴿٥١﴾ Artinya :
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin (mu);
sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya
orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk
kepada orang-orang yang zalim.
Dari ayat tersebut maka akan
menimbulkan permasalahan antar manusia (makhluk Tuhan) sehingga dalam bersosial
akan menimbulkan kerengagan antar umat beragama. Dari spek ketuhanan,
pendidikan Islam mendasarkan pandangannya dari al-qur’an surat An-Nisa 131
yaitu:[10]
وَللّهِ
مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الأَرْضِ وَلَقَدْ وَصَّيْنَا الَّذِينَ أُوتُواْ
الْكِتَابَ مِن قَبْلِكُمْ وَإِيَّاكُمْ أَنِ اتَّقُواْ اللّهَ وَإِن تَكْفُرُواْ
فَإِنَّ لِلّهِ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الأَرْضِ وَكَانَ اللّهُ غَنِيّاً
حَمِيداً ﴿١٣١﴾
Artinya :
Dan kepunyaan Allah-lah apa yang di langit dan
yang di bumi, dan sungguh Kami telah memerintahkan kepada orang-orang yang
diberi kitab sebelum kamu dan (juga) kepada kamu; bertakwalah kepada Allah.
Tetapi jika kamu kafir, maka (ketahuilah), sesungguhnya apa yang di langit dan
apa yang di bumi hanyalah kepunyaan Allah dan Allah Maha Kaya lagi Maha
Terpuji.
Dikarenakan
dalam pandangan Islam yang berkaitan dengan kebebasan menaganut agama
didasarkan kepada al-qur’an surat al-Baqoroh ayat 251 yaitu:

Artinya:
Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam);
sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu
barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka
sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak
akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
Hubungan pendekatan normatif dan historis
seringkali diwarnai dengan ketegangan, baik yang bersifat kreatif maupun
deskriptif. Pendekatan normatif di satu sisi merupakan pendekatan yang berpijak
pada teks yang tertulis didalam kitab suci masing-masing agama. Sehingga dalam
batas-batas tertentu pendekatan ini cenderung bercorak literasi, tekstual atau
skripturalis.[11]
Adapun domain atau wilayah menurut
Nasr Hamid Abu Zaid terbagi dua untuk Islam normatif yaitu:[12]
1.
Wilayah teks asli Islam (the
original text of Islam), yaitu Al-Qur’an dan Sunnah nabi Muhammad yang
autentik.
2.
Pemikiran Islam yang merupakan
ragam menafsirkan terhadap teks asli Islam (al-qur’an dan sunnah nabi Muhammad,
Saw). Dapat ppula disebut hasil ijtihat terhadap teks asli Islam seperti tafsir
dan fikih. Dalam kelompok ini dapat ditemukan dalam empat pokok cabang yaitu,
hukum/fiqih, teologi, filsafat dan taasawuf/mistik.
B.
Pendekatan
Historis Studi Islam
Historis dalam bahasa inggris memiliki
arti sejarah atau peristiwa, dalam bahasa arab dengan kata asajaratun
yang berarti pohon. Historis adalah asal usul, silsilah, kisah, riwayat, dan
peristiwa. Historis merupakan suatu ilmu yang didalamnya dibahas berbagai
peristiwa dengan memperhatikan unsur tempat, waktu, objek, dan latar belakang
peristiwa tersebut. Pendekatan kesejarteraan ini sangat penting dan dibutuhkan
dalam memahami agama, karena agama itu
sendiri turun dari situasi yang konkret dan berkaitan dengan kondisi sosial
kemasyarakatan.[13] Menurut
Hasyim Hasan dalam bukunya pengantar studi Islam ada beberapa unsur dalam
memahami agama dari perspektif historis, yaitu peristiwanya (what),
pelaku (who), waktu, (when), tempat (where) dan latar
belakang (why). Pendekatan historis ini menghendaki adanya pengetahuan,
pemahaman dan penguraian ajaran Islam dari sumber dasarnya serta latar belakang
masyarakat, budaya, sejarah, politik, ekonomi, dan pendidikan serta
lain-lainnya.[14] Pendekatan
historis dalam pandangan filsafat pendidikan Islam digunakan dengan cara
mengadopsi metode yang digunakan dalam penelitian sejarah Islam. Maksud
pendekatan ini adalah bahwa filsafat pendidikan Islam dikaji berdasarkan urutan
dan rentang waktu yang terjadi di masa lampau.[15]
Sedangkan dalam ilmu hadist, pendekatan secara historis adalam memahami hadist
dengan memperhatikan dan mengkaji situasi atau peristiwa sejarah yang terkait
dengan latar belakang munculnya hadist.[16]
Dari pengertian tersebut, dapat
disimpulkan bahwa pendekatan historis adalah paradigma ilmu dalam mengkaji
studi agama dengan melihat peristiwa, pelaku, waktu, tempat dan latar belakang
untuk menguraikan dan memberikan pemahaman tentang latar belakang sebuah
kajian, dalam hal ini kajian agama Islam.
Melalui pendekatan sejarah ini
seorang diajak untuk memasuki keadaan sebenarnya yang berkenaan dengan
penerapan suatu peristiwa. Misalnya seseorang ingin memahami al-quran secara
benar maka seseorang harus mempelajari turunnya al-qur’an atau
kejadian-kejadian yang mengiringi turunnya al-qur’an atau kejadian-kejadian
yang mengiringi turunnya al-qur’an. Contoh pendekatan pada zaman Khalifah
Ar-Rosyidin adalah sebagai berikut:[17]
1.
Abu Bakar. Situasi yang
membahayakan umat di madinah setelah wafatnya Nabi Muhammad Saw, dan munculnya
Abu Bakar sebagai calon yang secara umum diterima, beliau adalah orang Quraisy.
Terpilihlah Abu Bakar menunjukkan kesadaran politik yang baik dalam umat dan
cepatnya pemilihan itu diselesaikan menunjukkan bukti kuat bahwa mereka
bertekat untuk bersatu dan melanjutkan tugas Nabi Muhammad Saw.
2.
Umar Bin Khatab. Tindakan pertama
yang dilakukan Umar Bin Khatab adalah mengubah kebijakan Abu Bakar terhadap
para mantan pemberontak dalam peperangan Riddah.
Pendekatan
sejarah sangat dibutuhkan dalam memahami agama karena agama itu turun dalam
situasi konkret, bahkan berkaitan dengan kondisi sosial kemasyarakatan.[18] Islam
historis atau Islam sebagai produk sejarah adalah Islam yang dipahami dan Islam
yang dipraktikkan kaum muslim di seluruh penjuru dunia, mulai dari masa nabi
sampai sekarang. Islam yang terbentuk dari sistem sejarah tercermin dari
praktik yang dilakukan kaum muslim. Parktik ini muncul dalam berbagai macam dan
bentuk sesuai dnegan latar belakang sosial (konteks). Contoh dalam praktik
shalat di pakistan yang tidak meletakkan tangan di dada, sementara muslim Indonesia
meletakkan tangan di dada. Contoh lain parktik duduk miring ketika tahiyat
akhir bagi musllim indonesia, sementara musllim di tempat lain/negara lain
tidak melakukannya. Contoh lain di bidang ritual keagamaan, seperti
memperingati kelahiran nabi muhammad Saw, juga bermacam-macam di kalangan
muslim dan lain sebagainya.[19]
Amin
Abdullah menyampaikan bahwa pemerhati sejarah agama islam sangat memahami
kedudukan sentral nabi Muhammad sebagai makhluk historis (yamsuna fi al-aswaq)
yang selalu berhadapan dengan beberapa pilihan tata nilai yang bersifat
pluralistk. Bahkan jika ditilik secara lebih tajam, ayat-ayat al-qur’an yang
mengilhami manusia muslim untuk berperilaku di muka bumi. Hal ini Menurut arkon
dalam bukunya amin abdullah bersifat zaman dan makan, yakni selalu melibatkan
dimensi historis ruang dan waktu. Asbabbul nuzul (sebab-sebab turunnya al-quran
tidak lain dan tidak bukan adalah dimensi historisital al-qur’an, dimana
fundamental nilai selalu ada dibelakangnya. Untuk itu faktor “keteladanan” yang
bersifat historis-empiris dalam diskursus keberagaman islam pada khusunya
memang lebih utama daripada konsepsi teo-filosoffis yang transendental.
Disinilah letak sebagian kekuatan etik agama dihadapan etik filosofis tanpa
mengurangi pentingnya etika filosofis
dalam dataram kritis.[20] Dalam
kapasitasnya sebagai nabi yang mengemban misi fundamental value dan sebagai makhluk yang bersifat historis,
nabi muhammad selalu bermujahadah dan sebagai tauladan yang terbaik.
M.
Amin Abdullah dalam konteks pendekatan menjelaskan bahwa dalam wacana studi
agama, fenomena keberagaman manusia dan studi agama tidak lagi hanya dilihat
dari sudut dan semata-mata terkait dengan normalitas ajaran wahyu, namun wacana
juga dapat terlihat dari sudut dan terkait dengan historistis pemahaman dan
interpretasi orang perorang atau kelompok per kelompok terhadap norma-norma
ajaran agama yang mereka peluk, serta model-model amalan dan kritik-kritik
ajaran agama yang mereka lakukan dalam kehidupan sehari-hari. Pendekatan
historis melihat kitab suci dan fenomena keberagaman tidak melihat cara
tekstual, namun dengan sudut pandang keilmuan sosial keagamaan yang bersifat
multidimensional, baik secara sosiologis, filosofis, psikologis, historis,
kultural maupun antropologis. Pendekatan historis menuduh pendekatan normatif
sebagai cenderung bersifat “absolut” sebab pendekatan normatif
mengabsolutkan teks yang tertullis, tanpa berusaha memahami lebih dahulu apa
sesungguhnya yang melatarbelakangi berbagai teks keagamaan yang ada. Akan
tetapi menurut abdullah hubungan kedua pendekatan ini ibarat sebuah koin mata
uang dengan dua permukaan, keduanya tidak bisa dipisahkan namun dapat dibedakan
secara tegas dan jelas.[21]
Pendekatan sejarah ini sangat dibutuhkan dalam memahami agama karena agama itu sendiri turun dalam situasi konkret,
bahkan berkaitan dengan kondisi sosial kemasyarakatan. dalam hubungan ini,
Kuntowijaya telah melakukan
studi yang mendalam terhadap agama yang dalam hal ini Islam menurut pendekatan
sejarah ketika ia mempelajari Al Qur’an sampai pada kesimpulan bahwa pada
dasarnya kandungan Al Qur’an itu terbagi menjadi dua bagian :[22]
1.
Berisi konsep-konsep
2.
Berisi kisah sejarah dan perumpamaan
Dalam bagian pertama
dikenal banyak konsep, baik yang bersifat abstrak maupun konkret. Konsep
tentang llah, konsep tenang malaikat, tentang akhrat, fenomena konkret dan
dapat diamati (obses uagle). Misalnya konsep tentang orang kafir (uffar),
orang lemah (du’afa), kelas tertindas (mastadh’afin), orang zalim
(zhalimun), takabur (mustakbirun), dan koruptor. Melalui
pendekatn sejarah ini diajarkan untuk memasuki keadaan yang sebenarnya berkenaan dengan penerapan suatu peristiwa, maka seseorang tidak dapat
memahami agama keluar dari konteks historis, karena pemahaman demikian ini menyesatkan
orang yang memahaminya. Pandangan historis
ini adalah suatu pandangan umum tentang pandangan metode pengajaran secara
suksesif sejak dari dahulu sampai sekarang dan akan diiringi secara sepintas
lalu mengenai problematik metodologi itu.[23]
Menurut penjelasan Charles J. Adams tdalam memahami pendekatan historis, maka secara ringkas dapat dikemukakan dua hal. Pertama, pemahaman
islam masa kini dan masa datang bisa dipahami secara baik dengan bekal
pemahaman islam masa lalu, masa kini, dan masa mendatang maka penggunaan pendekatan sejarah merupakan satu
keniscayaan. Pada waktu yang sama, kita
memahami islam masa lalu berdasarkan warisan lalu berupa warisan-wrisan
tertulis yang terefleksi melalui simbol yang dikenal dengan bahasa, dan karena
itu bahasa menjadi satu runtutan dalam sttudi islam (agama pada umumnya). ,
Kedua, sejarah dan psikologi bagaikan dua wajah
dari satu mata uang yang sama. . Melalui pendekatan sejarah dan
psikologi itulah sejumlah karya islam masa lalu dianalisa dan dipahami kemudian disajikan dalam bentuk
karya-karya baru, modern, dan kontemporer yang bisa dinikmati oleh para pengkaji islam pada masa kini dan
juga pada masa-masa berikutnya. Begitulah seterusnya peran pendekatan sejarah
dan psikologi. Dengan menggunakan logika yang demikian, saya lebih cenderng
menggunakan istilah pendekatan sejarah dan psikologi (historical dan
philogical approach) ketimbang pendekatan pilologi dan sejarah (philological
and historical approach )
sebagaimana pemikiran Chrles J. Adams.[24]
Selanjutnya, jika pada bagian yang berisi
konsep, al-Qur’an bermaksud membentuk pemahaman yang komprehensif mengenai
nilai-nilai Islam, maka pada bagian yang kedua yang berisi kisah dan
perumpamaan, al-Qur’an ingin mengajak dilakukannya perenungan untuk memperoleh
hikmah. Melalui pendekatan sejarah ini seseorang diajak untuk memasuki keadaan
yang sebenarnya berkenaan dengan penerapan suatu peristiwa. Dari sini maka
seseorag tidak akan memahami agama keluar dari konteks historisnya. Seseorang
yang ingin memahami al-Qur’an secara benar misalnya, yang bersangkutan harus
memahami sejarah turunnya al-Qur’an atau kejadian-kejadian yang mengiringi
turunnya al-Qur’an yang selanjutnya disebut dengan ilmu asbab al-nuzul yang
pada intinya berisi sejarah turunnya ayat al-Qur’an. Dengan ilmu ini seseorang
akan dapat mengetahui hikmah yang terkadung dalam suatu ayat yang berkenaan
dengan hokum tertentu, dan ditujukan untuk memelihara syari’at dari kekeliruan
memahaminya.[25]
Kebenaran al-qur’an dari segi historis telah dibuktan dengan ditemukan jasad fir’aun
sebagaimana telah dijanjikan oleh Allah dalam Surah Yunus ayat 90 :
وَجَاوَزْنَا بِبَنِي إِسْرَائِيلَ
الْبَحْرَ فَأَتْبَعَهُمْ فِرْعَوْنُ وَجُنُودُهُ بَغْياً وَعَدْواً حَتَّى إِذَا
أَدْرَكَهُ الْغَرَقُ قَالَ آمَنتُ أَنَّهُ لا إِلِـهَ إِلاَّ الَّذِي آمَنَتْ
بِهِ بَنُو إِسْرَائِيلَ وَأَنَاْ مِنَ الْمُسْلِمِينَ ﴿٩٠﴾
Artinya:
Dan Kami
memungkinkan Bani Israil melintasi laut, lalu mereka diikuti oleh Fir`aun dan
bala tentaranya, karena hendak menganiaya dan menindas (mereka); hingga bila
Fir`aun itu telah hampir tenggelam berkatalah dia: "Saya percaya bahwa
tidak ada Tuhan melainkan Tuhan yang dipercayai oleh Bani Israil, dan saya
termasuk orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)".
Adapun pendekatan sejarah atau historis dalam
memaknai ayat al-qur’an dengan dilihat dari asbabul nuzulnya dan konsep orang
dzolim seperti contoh tentang pencuri yaitu surat al-maidah ayat 38.
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ
فَاقْطَعُواْ أَيْدِيَهُمَا جَزَاء بِمَا كَسَبَا نَكَالاً مِّنَ اللّهِ وَاللّهُ
عَزِيزٌ حَكِيمٌ ﴿٣٨﴾
Artinya :
Laki-laki yang
mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai)
pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan
Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana
Dalam memahami
ayat tersebut secara tekstual (wahyu), allah memerintahkan bagi seseorang baik
laki-laki ataupun perempuan yang melakukan pencurian, maka balasannya potong
tangan. Akan tetapi dalam arti penafsiran dan asbabul nuzulnya, secara historis
hukumuan potong tangan ketika mencuri ada aturan-aturannya dan ada batas
minimal untuk dapat memberi hukuman potong tangan. Adapun batas minimalnya
yaitu sebesar 3 dirham murni.
Sejarah membuktikan bahwa pendekatan historis
ini berlaku di Indonesia dengan masuknya Islam padaa abad ke-7 M/1 H. Tetapi
baru meluas paa abad ke-13 M. Islam masuk ke Indonesia melalui pusat-pusat
perdagangan di pantai Sumatera Utara dan melalui urat nadi perdagangan bagian
Timur. Beberapa kerajaan Islam sebagai bukti pendekatan historis ini adalah
sebagai berikut.[26]
1. Kerajaan Samudra
Pasai. Menurut catatan sejarah, bahwa Islam
pertama di Indonesia adalah kerajaan Samudra Pasai yang didirikan pada abad
ke-10 M, dengan raja pertamanya adalah Al-Malik Ibrahim bin Mahmud. Pada zaman
kerajaan ini sudah terjadi hubungan antara Malaka dan Pasai, bahkan Islam
berkembangan di Malaka melaluii Kerajaan Samudra Pasai.
2. Kerjaan Perlak
merupakan salah satu kerajaan slam tertua di Indonesia , agama isam mudah
sekali bertapak di Perlak tanpa adanya goncangan sosial dengan penduduk pribumi
karena Perlak merupakan daerah yang letaknya sangat strategis di Pantai selat
Malaka dan bebas dari pengaruh Hindu. Ada beberapa pengeliling dunia yang pernah
singgah di Perlak pada tahun 1292 M, adalah Marcopolo seorang berkebangsawanan
Italia, dia mengatakan bahwa ibukota Perlak ramai dikunjungi pedagang Islam
dari Timur Tengh dan India.
3. Kerajaan Aceh
Darussalam yang diproklamasikan pada 12 Zulqa’idah 916 H (1511 M), kerajaan ini
diperintahkan oleh Sultan Mahmud Syah, namun kerajaan ini mengalami kemunduran
pada masa kekuasaan Sultas Muzaffar Syah 1055 H (1750 M)
Melalui pendekatan sejarah seseorang
diajak untuk memasuki keadaan yang sebenarnya dengan penerapan sesuatu
peristiwa. Dari sini maka seseorang tidak akan memahami agama keluar dari
konteks historisnya, karena pemahaman demikian itu akan menyesatkan orang yang
memahaminya. Seorang yang ingin emmahami al-qur’an secara benar misalnya, yang
bersangkutan arus mempelajari sejarah turunnya al-qur’an atau kejadian-kejadian
yang mengiringi turunnya al-qur’an yang selaanjutnya yang disebut asbabul nuzul
yang pada intinya berisi sejarah turunnya ayat-ayat al-qur’an. Dengan ilmu
tersebut seseorang akan dapat engetahui hikmah yang terkandung dalam suatu ayat
yang berkenaan dengan hukum tertentu dan ditujukan untuk memelihara syariat
dari kekeliruan memahaminya.[27]
Begitu juga dengan memahami islam, islam harus juga dipahami dengan melihat
sejarah-sejarah perkembangan islam.
C. Perbedaan Pendekatan Normatif dan Historis
Adapun perbedaan antara pendekatan
normatif dan historis yaitu sebagai berikut:
No
|
Pendekatan Normatif
|
Pendekatan Historis
|
1.
|
Kemurnian teks (wahyu)
|
Produk sejarah
|
2.
|
Kajiannya melahirkan tafsir,
teologis, fiqih, tasawuf, filsafat
|
Kajiannya melahirkan studi
empiris yaitu: antropologi, sosiologi, psikologi
|
3.
|
Normatif-teologis
|
Historis-empiris
|
4.
|
Bercorak literasi, tekstual atau
skripturalis
|
Masa lalu
|
Seperti
dikatakan diatas, menurut Abdullah hubungan kedua pendekatan ini ibarat sebuah
koin mata uang dengan dua permukaan, keduanya tidak bisa dipisahkan namun dapat
dibedakan secara tegas dan jelas. Maka dari itu semuanya akan saling melengkapi
satu sama lain.
[25] Mokh.
Fatkhur Rokhzi, Pendekatan Sejarah dalam Studi Islam, Jurnal Vol III No. 1
Maret 2015, http://jurnal.stitnualhikmah.ac.id/index.php/modeling/article/download/49/49/ , diakses pada 18 Oktober2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar